Senin, 22 Agustus 2011

TRANSEAMUS>>>

TRANSEAMUS>>>

“Kenapa kau datang lagi padaku sekarang?”
“Aku hanya mau mengunjungimu saja”
“Aku belum mau dikunjungi”
“Kau marah padaku?”
“Tidak”
“Kau dendam padaku?”
“Tidak”
“Kau masih mau melihat diriku?”
“Iya, tetapi bukan sekarang”
“Terus, kapan?”
“Mungkin suatu saat”
“Saat itu kapan? Besok? Lusa? Minggu depan?”
“Aku belum mau berbicara sekarang”
“Tetapi aku mau berbicara denganmu?”
“Oke, bicaralah, setelah itu engkau mesti segera pulang ke rumahmu”
“Engkau mengusirku?”
“Tidak”
“Terus kenapa kau berkata begitu?”
“Karena kau bukan wanita biasa. Kau istri orang. Ingat itu, kau istri orang”
“Kalau aku telanjang di depanmu, apakah kau masih berpikir aku istri orang?”
“Hanya kucing lapar yang bodoh yang mau menolak santapan daging enak”
“Meskipun daging itu daging sisaan?”
“Bahkan daging busukpun jadi santapan lezat untuk seekor kucing yang lapar”
“Dan kau menjadikan dirimu sebagai kucing yang lapar?”
“Bahkan di saat yang bersamaan kau mendefenisikan dirimu sebagai daging yang tersaji”
“Hahaha... kau pintar dan aku suka...haha”
“Kenapa kau tertawa?”
“Karena aku bahagia?”
“Apa yang buat kau bahagia? Aku merasa tidak ada hal yang bisa buat kau bahagia”
“Kau tidak tahu kalau apa yang barusan kau buat telah membuatku bahagia”
“Apanya?”
“Kau selalu membuat setiap permainan sebagai cerita”
“Dan engkau menikmati cerita-ceritanya?”
“Ya, aku menikmatinya”
“Tanpa kepalsuan di dalamnya?”
“Ya iya tanpa kepalsuan la... Kau tahu kan kalau banyak wanita menyukai kenangan?”
“Aku tidak tahu banyak tentang itu”
“Makanya pertahankan cara-caramu menciptakan kenangan-kenangan”
“Maksudnya?”
“Seperti yang biasa kau lakukan”
“Apanya?”
“Membuat sesuatu yang tak terlupakan”
“Misalnya?”
“Kau bego sekali ya...”
“Iya, karena aku tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan kenangan”
“Kau ingat waktu pertama aku ke sini?”
“Kapan ya?”
“Aku tahu kau sengaja melupakannya”
“Benar. Aku sudah melupakannya dengan sempurna”
“Baiklah mungkin aku bukan ditakdirkan untuk menjadi kekasihmu”
“Aku juga merasa begitu waktu engkau mengatakan kepadaku bahwa engkau selalu mengingat wajahnya waktu kita sedang bersebadan”
“Tetapi sekarang terjadi sebaliknya”
“Maksudnya?”
“Aku selalu membayangkan wajahmu waktu diriku seranjang dengan badannya”
“Terus sekarang mau bagaimana?”
“Biarkan aku semalam saja bersamamu”
“Ha?”
“Mungkin ini suatu cara untuk menjadi istrinya yang sesungguhnya”
“Terus aku bagaimana?”
“Kau akan menjadi sahabat kami selamanya”
“Yang nanti suatu saat kalau kau butuh kau bisa menghubungiku?”
“Kau tidak keberatan kan?”
“Jangan jadikan ragaku terminal shyawatmu!!!”
“Untuk malam ini saja ya, please...”
“Sorry”
“Apakah aku tidak boleh menggodamu lagi?”
“Maaf, aku terlanjur melihatmu sebagai sejarah”
“Dan engkau tidak mau mengulangi sejarah kita bersama?”
“Walaupun itu sejarah yang salah?”
“Jangan pikir panjang-panjang ya...Anggap saja kau kucing kelaparan dan aku daging yang siap dimakan, mau kan?”
“Tetapi aku sekarang tidak sedang kelaparan”
“Apakah kau mendapat makanan secukupnya?”
“Tidak juga”
“Terus?”
“Aku hanya tidak mau saja”
“Apakah aku sudah tidak secantik seperti dulu lagi?”
“Kau bahkan lebih cantik sekarang”
“Benar, karena aku barusan dari rumah kecantikan. Terus, kenapa kau tidak mau menikmati kecantikanku?” “Karena aku tahu bahwa dalam cantikmu selalu ada luka dan jarum. Luka itu lukamu dan jarum itu yang akan melukaiku. Aku tidak mau terluka oleh jarum yang sama”
“Kenapa dari dulu engkau tidak pernah bilang kepadaku kalau dalam cantikku ternyata ada jarum yang dapat melukaimu?”
“Karena waktu itu aku tidak mau terlalu ambil pusing dengan kehadiran jarum itu. Waktu itu kita mencurahkan seluruh perhatian kita untuk menyembuhkan lukamu”
“Dan aku tahu waktu itu kau baik sekali kepadaku”
“Dan waktu itu juga cantikmu sedang menusukku dengan jarummu. Tepat di hatiku”
“Dan kau tidak merasa sakit?”
“Sakit. Sakit sekali”
“Mengapa kau tidak berteriak?”
“Karena aku percaya padamu”
“Percaya?”
“Percaya dengan kata-katamu waktu kau bilang ingin menjadikanku yang terakhir buatmu”
“Kau marah padaku?”
“Tidak”
“Kau mau memaafkanku?”
“Sudah sedari dulu”
“Dari dulu engkau memaafkanku?”
“Iya... waktu kau meminta diriku untuk menerima dirimu sebagai yang tidak utuh. Waktu itu kata-katamu, ‘Apakah kau mau menerimaku apa adanya?’ dan kata-kataku, ‘aku menerima dirimu’. Kau ingat saat itu?”
“Aku mengingatnya karena itu kenangan bagiku”
“Kenangan?”
“Karena kau pria pertama yang mampu membangkitkan semangat percaya diriku setelah masa-masa kehancuranku”
“Lupakan itu!!!”
“Semakin aku memaksa untuk melupakannya semakin aku mengingatnya”
“Coba bayangkan perasaan suamimu kalau dia tahu kau sedang berada di tempatku”
“Aku butuh kau untuk menghapus bekasmu dari hatiku”
“Dengan cara tidur denganku?”
“Mungkin itu suatu cara untuk merayakan perpisahan asmara selamanya”
“Dan kau tidak akan minta lagi di waktu-waktu mendatang?”
“Aku tidak bisa menjaminnya sayang... Ini soal rasa”
“Soal rasa atau soal hasrat untuk bershyawat? Jangan-jangan kau tipe orang yang tidak puas sebagai satu pasang saja?”
“Kalau benar kenapa? Kau merasa jijik padaku kalau begitu? Bukankah kau pernah bilang setuju pada Einstein di kamarmu waktu dia bilang, ‘perkawinan adalah usaha untuk mengabadikan suatu yang ternyata kebetulan belaka’”
“Trus, kenapa kau mau menikah untuk melegalkan perkawinanmu?”
“Kau mau orang tuaku membunuhku karena tahu aku hamil tanpa suami?” “Jadi pernikahanmu itu hanya karena alasan itu?”
“Itu bukan informasi penting bagimu kan?” “Aku hanya mau bilang kecewa saja”
“Jangan mengasihaniku!!!”
“Kalau begitu pulanglah ke rumah suamimu, karena aku tidak mau mengasihani dirimu”
“Kau mungkin terlalu kudus bagiku, tetapi aku melihat kemunafikan dalam dirimu”
“Aku juga sadar kalau aku mungkin munafik”
“Munafik kau!!!...”
“Mungkin kita mesti dicap ‘munafik’ waktu kita berikthiar untuk berubah”
“Buktikan perubahanmu kepada diriku”
“Aku tidak membutuhkan dirimu. Aku hanya mau berubah karena diriku sendiri, bukan karena dirimu”
“Dan aku akan selalu memperhatikan perubahanmu”
“Aku minta dukunganmu”
“Untuk menggodai dirimu?”
“Bukan”
“Terus?”
“Untuk berdoa bagiku supaya aku kuat menahan godaan”
“Aku bahkan sudah lama tidak pernah berdoa. Mungkin Tuhan sudah tidak mengenalku lagi”
“Hati yang remuk redam tak ‘kan Dia tolak” “Kau barusan mendaraskan satu mazmur yang pernah kuhafal”
“Hafal?” “Iya, kenapa?”
“Bisakah kita berubah bersama? Mungkin sulit untuk memulai dari awal tetapi hal itu tidak mustahil kan?”
“Aku malu memulainya. Aku takut dikata: munafik!”
“Jangan siksa dirimu dengan pikiranmu sendiri”
“Aku mau menangis. Sungguh...”
“Menangislah”
“Tetapi aku membutuhkan sebidang dada untuk menyandarkan kepala”
“Pulanglah dan tangisilah di dada pria yang telah setia mendampingimu”
“Dan kau tidak akan melihat hina diriku atau menganggapku munafik?”
“Iya, karena aku juga bukan orang yang hidup tanpa dosa”


Jakarta, 08 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar