Senin, 22 Agustus 2011

PATER YOSEPH

PATER YOSEPH
“Apa yang menarik dari ide Agustinus tentang sejarah sampai-sampai No tulis praskripsi tentang teologi sejarah Santo Agustinus?”, tanya dosen pembimbingku itu penuh keakraban dengan dialek Solor yang enak didengar.
“Saya senang idenya tentang Civitas Dei dan Civitas Terrena. Kota Tuhan dan Kota Dunia”, jawabku penuh percaya diri meski kutahu ilmuku hanya seujung kuku dari teolog kelahiran Ritaebang, Solor ini.
“Wah, No punya pemahaman su mendalam e…” katanya menguatkanku. Dan saat itu kutahu kalau itulah caranya membangkitkan percaya diriku. Dia seorang teolog dan motivator. Dan kami semua tahu itu.
“Ah Pater… Saya bukan siapa-siapa kalau dibandingkan dengan doktor ahli Aloyis Pierris lulusan Gregoriana, Roma”, jawabku lagi untuk mengatakan bahwa aku mengagumi dan mengakui kepintarannya.
“Ah No… Kita bukan siapa-siapa le. Kalian yang lebih muda itu yang mesti lebih brilian dari kami yang sudah tua-tua ini. Atau bagaimana?”
“Kami mesti belajar banyak di senior-senior ka Pater…”
“Tapi No punya penampilan kemarin malam di BELUM ADA JUDUL itu terlalu istimewa e… Kami cerita-cerita di kamar makan patres dan banyak pater yang akui. Mahasiswa-mahasiswa sekarang memang lebih maju daripada kami dulu. Kalian punya literature yang jauh lebih luas daripada kami”
“Terima kasih Pater… Kami juga senang dan kami tahu itu hasil perjuangan pater-pater yang sekarang buat kami”
“Benar No… kami dulu hanya boleh belajar Agustinus, Thomas Aquinas, Bonaventura, dan pemikir-pemikir yang dukung ajaran Gereja…”
“Tapi kan ide-idenya Thomas tentang perempuan kan tidak mendukung ajaran Gereja kan?”
“Nah bagian itu yang tidak diajarkan ke kami”
“O iya?”
“Iya… kami yang ada sekarang ini punya pikiran terbuka setelah kami ada kesempatan belajar di luar negeri”
“Mungkin kita butuh pembenturan horizon dengan orang lain dari budaya lain dulu baru kita bisa berubah… hehehe”
“Nah ketahuan No su paham hermeneutika Gadamer…”, kata dosen murah senyum itu kepadaku lagi.
“Ah Pater ni selalu sa ada ruang untuk puji e… hehehe”
“Bukan pujian bombastis toh… tapi ini murni kekaguman”
“Semacam thaumazein?”
“No bilang thaumazein, saya ingat Plato. Waktu kami belajar teologi kami ingat kata-kata: Gloria Dei vivens homo
“Dan inilah istilah-istilah yang membedakan pembelajar filsafat semester empat dengan dosennya yang teolog besar”, kataku sembari tersenyum.
“No jago puji orang ju e…hehehe”, jawab imam yang selalu bercerita tentang situasi-situasi orang-orang miskin di setiap negara yang dia kunjungi. Inilah yang membedakan dirinya dengan sebagian dosen lain. Dosen-dosen lain akan bercerita tentang pesawat apa yang mereka pakai waktu terbang dari Roma ke Washington atau dari Bali ke Canberra. Pater Yoseph bercerita tentang orang-orang miskin di Bangladesh dan India, di Filipina dan Jakarta. Dia akan menggedor kesadaran dan rasa kepedulian mahasiswa untuk berpihak pada yang miskin dan lemah.
Sore itu kami melanjutkan pembicaraan tentang apa yang harus diperbaiki dari tulisanku itu dan waktu kapan yang pas untuk menguji tulisanku.
DUA MINGGU KEMUDIAN. Aku ke kamarnya dan di depan kamar ada tulisan: “Pater di Semarang, sakit. Minta doa kita semua”. Aku pulang ke asramaku dan sejenak doa bagi pastorku. Sejenak saja benar karena pikirku pasti banyak orang yang mendoakannya. Seminggu setelah kukunjungi kamarnya itu, pagi-pagi buta lonceng asramaku berbunyi lebih pagi dari biasanya dan kutahu pasti ada suatu berita kematian. Aku menduga-duga kematian siapa lagi? Uskup mana lagi yang dipanggil menghadap Bapa? Karena akhir-akhir ini banyak uskup yang mangkat tanpa penyakit yang membuat mereka istirahat di rumah sakit. Misa pagi dipimpin bapa rumah dengan pemberitahuan berita meninggalnya rector seminari tetangga. Kami mendoakannya dan kutahu bahwa ada banyak teman-temanku yang terpukul sedih sekali dengan berita duka ini.
Hidup ini hanya istirahat minum, kita mesti kuat menerima apapun yang akan terjadi. Itu kotbah saleh. Engkau tidak akan senantiasa kuat untuk mendengar berita duka dari pribadi yang kau sayangi. Engkau merasa hancur dahulu sebelum bangkit dan menerima kenyataan.
Kami menunggu kedatangannya untuk berdoa bersamanya sekali lagi. Ini moment penting.
Di sela penantian aku memasuki kamarnya. Di atas meja kerjanya kutemukan tulisanku dengan beberapa pertanyaan dan catatan di halaman belakangnya”
“Gus, tulisanmu bagus untuk mahasiswa seusiamu. Ini pertanyaan-pertanyaan buatmu:
  1. Apa kritikmu untuk civitas Dei dan civitas terrena menurut Agustinus?
  2. Apakah kehendak yang baik sudah cukup untuk menjelaskan sejarah kehidupanmu sendiri?
  3. Apakah Gusti masih yakin bahwa Tuhan lebih mengenal diri kita daripada kita mengenal diri kita sendiri?
  4. Gusti, masih banyak yang harus ditanyakan karena hidup ini memang harus selalu terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan. Tetapi untuk keperluan kita sekarang, ini pertanyaan terakhir: Apakah engkau memilih teologi sejarah Agustinus dengan pembahasan tentang CD dan CT dan bukan etika Thomas Aquinas tentang pembedaan suara hati dan hati nurani karena Agustinus menulis lebih puitis daripada Thomas? Kuberharap semoga ini bukan alasan karena banyak orang terpukau dengan kata-kata indah dan lupa apa yang harus dilakukan? Maaf kalau pertanyaan ini mungkin kritik bagimu dan kupikir serentak juga kritik bagiku.
Terima kasih Gusti. Semoga kita bisa bertemu lagi kalau bukan di dunia mungkin di rumah Bapa di surga ketika kota Tuhan menjadi nyata pada langit yang baru dan bumi yang baru dimana kita akan bertemu dengan Tuhan dari muka ke muka. Salam No… sukses untuk karyamu. Rev YSH.”

Aku terdiam setelah membaca, tidak menangis tapi air mata berada di titik batas mau ditumpahkan dan ketegaran seorang pria.
Kusadar bahwa pertanyaan-pertanyaan itu adalah kerinduan serentak harapan….

Ah kematian, kau terlalu manis untuk dibicarakan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar