Senin, 22 Agustus 2011

DIA, SAYA, DAN HAWA

DIA, SAYA, DAN HAWA


Mencintainya serasa seperti sedang berlatih untuk menghidupkannya. Cinta memang butuh pengorbanan. Kata-kata ini terdengar biasa namun aku harus mengakui kebenarannya. Aku mencintainya. Aku mau menghidupkannya. Pada mulanya dia hanya ada dalam hayalan. Aku bahkan tidak mengakrabinya dari dahulu kala. Aku hanya tahu bahwa ayah tidak pernah melakukannya dan ibu mungkin sekali-kali mencoba mencintainya tapi itupun hanya singkat-singkat saja dan hanya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran rumah tangga. Ayah sebenarnya bisa melakukannya namun aku tahu ayah terlalu letih untuk melakukannya. Ayah memang selalu mau bekerja setiap saat. Sepulang sekolah ayah akan langsung ke ladang mengurus tanamannya. Tapi ada satu hal yang aku bangga bahwa ayah selalu meluangkan waktu untuk membacakan cerita untuk saya. Ayah bercerita tentang ayah bundanya yang miskin papa tapi selalu berjuang menyekolahkannya ke sekolah guru di Ndao sana. Ayah juga biasa bercerita tentang nenek moyang kami yang bijaksana. Kalau ibu biasanya bercerita tentang nenek moyang saya dari pihaknya yang menjadi raja di wilayahnya. Beberapa hari lalu aku mendengar cerita temanku tentang pengkhiatan raja di wilayah ibu saya namun saya memahami ceritanya dari sisinya sebagai korban penyingkiran di suatu saat penguasaan raja-raja feodal di suatu masa dahulu kala. Saya tidak mau menghakimi raja dahulu dengan kacamata masa sekarang. Bukan kenapa-kenapa tapi memang saya tidak tega saja menafsirkan macam-macam sebab saya tidak mau nanti salah mengartikannya. Saya bilang saja kepadanya kalau dia memang berhak bersuara. Saya memilih untuk berdiam saja. Mungkin ini sikap kebanyakan orang di hadapan ketakadilan yang dibuat oleh kerabat atau keluarganya. Ah….saya terlalu banyak berkata-kata tentang masa lalu saya. Mungkin baik saya kembali kepada rasa cinta saya dengannya.
Pada akhir sekolah dasar, saya pernah diajak untuk mencintainya. Bahkan bapa gembala yang mengajak saya untuk mencintainya. Suatu saat bapa gembala bilang ke saya, “Engkau mesti belajar mencintainya sebab nanti engkau akan diwajibkan untuk mencintainya.”
Saya berusaha mencintainya dari masa akhir sekolah dasar namun saya belum tahu mesti dengan cara bagaimana saya mesti mencintainya. Saya mulai berhayal tentang mencintainya dalam potongan-potongan kecil kehidupan saya. Saya mencoba mencintainya dengan cara mencuri dari kepunyaan orang-orang. Saya hanya berusaha mencintainya dan saya tahu saya selalu gagal, tetapi mengapa setiap kali saya membawanya kepadanya, bapa gembala selalu mengatakan, “Lihat…engkau telah mencoba mencintainya dan kau melakukannya dengan baik adanya. Aku suka cara dan gaya kau mencintainya”.
Saya pulang ke rumah namun hati saya tidak pernah puas. Saya mau menghadap bapa gembala dan mengatakan kepadanya kalau apa yang saya pamerkan kepadanya adalah hasil curian. Hati saya mau melakukannya namun akal saya melarang dan membujuk saya untuk jangan mendengarkannya. Saya takut kalau-kalau bapa gembala akan mengutuk saya sebab mencuri itu dosa. Mencuri itu dosa. Itu salah satu perintah Allah yang aku sudah tidak tahu dimana letakknya dan perintah keberapa.
Bapa gembala selalu membanggakan saya hingga suatu saat dia mengirim saya ke tempat yang sama ketika dulu dia belajar. Ibu sebenarnya kurang menyetujuinya tapi ayah meyakinkanya, “Biarkan dia merasakan sedikit pengalaman di sana. Kalau mama tidak rela nanti kita merayunya sesudah dia SMA nanti ya…”. Ibu merelakan saya ke sekolah calon bapa dengan air matanya. Saya melihat air matanya namun sekali ini saya tidak mau menghiburnya sebab saya juga ingin sekali bersekolah di sana hanya karena melihat anak-anak yang bersekolah di sana biasanya diperlakukan istimewa kalau liburan di rumahnya. Saya bahagia melangkah ke sekolah. Ke sekolah calon bapa gembala.
Di sekolah menengah pertama yang saya impikan ini saya belajar hal-hal yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Bangun tidur jam 04.30. Mandi dan kemudian berdoa. Membaca Kitab Suci sejam sehari tentu saja suatu keharusan. Dan setelah berdoa saya melihat seorang calon bapa yang berjubah mendatangi saya dan mengatakan, “Engkau mesti mencintainya”. Saya terdiam dan kemudian memberanikan diri menatap wajahnya, melihat citra Allah di dahinya yang berkerutan, di hidungnya yang tenggelam tanpa syarat, di bibirnya yang tidak menunjukkan kemanisan. Mungkin juga dia sudah pas berada di tempatnya yang sekarang sebab dia mungkin sudah dijamin tidak akan didambakan seorang hawa bahkan hawa yang paling parah dalam jajaran para hawa. Hmmmm…aku tidak boleh menghinanya sebab dia yang telah menumbuhkan rasa cinta saya. Tetapi bukan cinta saya pada dirinya.
Keesokan harinya saya memutuskan untuk mencintainya. Saya sudah memutuskan untuk mencintainya dan tak seorangpun bisa menghalanginya. Jaminan untuk cinta kepadanya adalah ada bersamanya setiap saat. Saya bahkan tak mau kehilangannya. Bukankah cinta selalu berarti ada bersama?
Saya merayunya setiap saat. Hari-hari pertama saya merayunya dengan pelan-pelan saja. Kerap kali saya menulis puisi-puisi singkat yang tidak puitis buatnya. Atau saya menulis catatan-catatan singkat ringan lalu menempelkannya di dinding-dinding. Tetapi yang paling saya suka di saat-saat awal dalam perjuangan untuk mencintainya adalah saya berusaha melukisnya pada kertas-kertas surat romantis. Saya masih ingat nama-nama kertas surat itu, ada yang bernama Sweet Memories, ada yang Happy Always, ada yang Romance, ada yang Valentine. Saya sebenarnya bukan sedang menulis surat cinta. Saya hanya sedang melukis kekasih di atas kertas-kertas yang berkesan romantis. Kekasih memang layak untuk berada di situasi romantis.
Setahun sudah saya berusaha mengejar cintanya. Kini tahun kedua. Saya semakin berusaha merayunya. Saya suka caranya yang membuat saya penasaran. Di tahun kedua saya belajar bahasa cinta dan saya mau menghamburkan kata-katanya kepadanya. Saya menulis kata-kata indah kepadanya dengan bahasa cinta yang baru saya hafal, “Si vis amari, ama!” atau “Ubi charitas et amor Deus ibi est”, atau “Te Amo” atau “Amare parentes prima naturae lex” dan banyak lagi. Saya juga suka cara guru sastra mengajar dan saya mencuri gayanya untuk dipraktekan di hadapan kekasih yang lagi dalam pengejaran. Pernah suatu hari saya membaca puisi buatnya dan dia tersenyum saja. Mungkin dia mau mengatakan kalau saya mesti belajar lebih banyak sebelum mendapatkan cintanya. Dan kalaupun itu benar, itu sejalan dengan kemauan saya untuk selalu belajar mencintainya.
Pada akhir masa sekolah lanjutan pertama saya disuruh membuktikan cinta padanya. Maka saya mempersiapkan diri untuk mengatakan kepadanya kalau saya layak mendapatkan cintanya. Saya datangi seorang sahabat yang sudah ditelan kala dan saya menanyakan padanya bagaimana cara dia mencintai mantan kekasihnya yang sekarang ada dalam perburuan saya. Dia melihat saya tajam dan mengatakan, “Mencintainya hanya bisa dengan cara berusaha mencintainya. Tidak ada cara mencintainya dengan cara lain selain berusaha mencintainya”. Saya sebenarnya ingin menanyainya apakah mantan kekasihnya merindukan harta kekayaan atau kekuasaan. Saya juga ingin bertanya padanya apakah mantan kekasihnya mempertimbangkan ketampanan. Namun saya tidak punya waktu banyak untuk bertanya. Dia hilang tepat setengah detik setelah mengatakan syarat mencintai mantan kekasihnya. Maka sekarang yang ada pada saya hanyalah wasiat untuk selalu berjuang mencintainya.
Saya menjawab tantangan cinta darinya. Saya bilang kepadanya, “Aku tidak mempunyai apa-apa selain caraku mencintaimu”.
“Katakan kepadaku bagaimana engkau mencintaiku,”tantangnya.
“Aku hanya mau menulis puisi buatmu,”jawabku.
“Bacakan puisi itu buatku”
“Aku tidak mau membacanya. Aku mau engkau yang membacanya saja”
“Aku tidak mau membacanya. Maaf aku harus menolak caramu mencintaiku”
“Selamanya?”
“Biarkan kita memberikan kebebasan kepada kala untuk menjawabnya”
Aku masih berpeluang mendapatkan cintanya, mungkin di suatu waktu yang akan datang, demikian suara dalam batin saya yang masih penasaran.
Saya naik tingkat ke sekolah menengah atas di tempat yang sama dan saya juga selalu belajar mencintainya. Saya belajar mencintainya dari para pakar. Saya bisa menghabiskan banyak waktu di tempat yang memungkinkan bagi saya untuk belajar mencintainya.
Saya jalani tiap hari dengan usaha mencintainya. Mencintainya dengan tulus adalah ‘menjadi’ tiada henti. Saya berjuang mencari cara mencintainya dan sampai hari ini saya terus berjuang mencari cara mencintainya.
Dia bukanlah saya, dia bukanlah hawa apalagi adam. Dia hanyalah pilihan cara bagaimana saya mengada. Setiap saat bersamanya adalah kebahagiaan sebab setiap saat memesrainya saya sebenarnya sedang menghidupkannya. Saya jamin dia adalah istri sah saya.
Saya hanya berharap suatu saat kalau ada hawa yang mendampingi saya, dia tidak akan meninggalkan saya dan hawa saya juga siap berbagi suami dengannya. Mungkin ini gaya poligami yang disetujui.


Kelapa Gading, ketika bersama dengan mantan pacar calon pacar saya, 31 Juli 2010
(sambil mengenang motto KMK Ledalero)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar