Senin, 22 Agustus 2011

Batas...

Batas

“Frater, kenapa perempuan tidak boleh jadi imam?”, tanya seorang siswi SMU pada seorang frater yang mengunjungi sekolahnya.
“Itu pertanyaan yang saya tidak bisa jawab Celline”, jawab frater penuh kejujuran.
“Bukannya frater belajar filsafat teologi?”
“Apakah orang yang belajar filsafat teologi itu bisa jawab semua hal?”
“Kan suster kepala sekolah bilang ke kami kalau filsafat teologi itu ibu segala ilmu!”
“Ha? Suster bilang begitu?”
“Iya frater… suster bilang begitu waktu pelajaran agama. Katanya kalau ada teman-teman saya yang laki-laki mau jadi imam mereka nanti belajar filsafat teologi sebagai ibu segala ilmu”
“Terus… ada yang mau jadi imam di kelas ini?”
“Yang laki-laki tidak ada. Hanya saya yang angkat tangan waktu itu. Suster bilang, ‘kau tidak bisa jadi imam karena kau perempuan’. Makanya sekarang saya tanya lagi ke frater apakah saya betul-betul tidak boleh jadi imam? Padahal saya mau belajar filsafat teologi”
“Kalau Celline mau belajar filsafat teologi, Celline bisa daftar masuk Sekolah Tinggi Filsafat Teologi”
“Saya tidak bisa jadi imam ya?”
“Celline bisa jadi suster kalau Celline mau pakai jubah”
“Saya mau buat misa!”
“Hmmmmm….”
“Kenapa frater? Tidak boleh ya perempuan jadi imam dan buat misa”
“Maaf Celline… Saya tidak bisa jawab pertanyaanmu ini”
“Filsafat teologi tidak bisa jawab pertanyaan ini ya?”
“Mungkin ahli filsafat teologi lain bisa jawab pertanyaanmu Celline, tetapi saya tidak bisa jawab. Nanti suatu saat kalau saya bisa jawab baru saya jawab ya…”
“Frater bisa jawab atau frater tidak boleh jawab?”
“Pertanyaanmu bagus, tetapi saya memang tidak bisa jawab bukan tidak boleh jawab”
“Soalnya beberapa malam yang lalu saya baca di bukunya bapak saya kalau imam-imam itu tidak boleh mengeluarkan sembarangan pendapat. Katanya harus patuh kepada Roma”
“Celline baca buku apa? Bapaknya Celline kerja apa?”
“Itu bukunya Bapak judulnya saya lupa frater. Bapak saya pegawai negeri di BKKBN bagian penyuluhan KB”
“Bapakmu gelarnya apa?”
“S. Fil. Katanya Sarjana Filsafat. Bapak saya itu dulunya frater. Makanya anak-anaknya diberi nama aneh-aneh kata mama. Kakak saya yang anak pertama namanya Nicolaus Cusanus Goethe-Schiller. Saya Sophia Celline Hellena.”
“Kenapa bapakmu kasih nama Sophia Celline Hellena?"
"Sophia itu artinya kebijaksanaan. Hellena itu artinya negeri Yunani. Nah kalau Celline karena bapak saya fans dengan Celine Dion”
“Nama yang bagus”
“Tetapi frater belum bisa jawab ya kenapa perempuan tidak bisa jadi imam?”
“Iya Celline, saya minta maaf saya belum bisa jawab sekarang”
“Tidak apa-apa frater. Om pater saya yang dosen saja juga bilang belum bisa jawab”
“Bagus. Celline mau tanya yang lain lagi?”
“Tidak. Saya mau tunggu saja sampai frater dapat jawabannya”
“Hehe..Jangan bercanda. Ini butuh waktu yang lama”
“Saya tunggu saja…”
***

“Pater, kenapa Ratzinger begitu angkuh untuk bilang bahwa agama kristen sebagai agama yang rasional adalah satu-satunya yang bisa diharapkan untuk diskursus universal?”, tanya frater kepada pater pembimbing skripsinya.
“Iya...itu selalu mengandaikan kalau kita tahu latar belakangnya bilang begitu!”, jawab pater doktor teologi lulusan Gregoriana itu.
“Apakah Ratzinger seorang konservatif?”
“Mungkin!”
“Mungkin juga Ratzinger seorang apologet Kristen? Jangan-jangan dia merasa eksklusif dalam kekristenannya?”
“Mungkin!”
“Atau dia buat itu untuk menjaga ajaran-ajaran gerejanya?”
“Mungkin!”
“Atau jangan-jangan dia benar bahwa satu-satunya agama yang benar adalah Kristen baik katolik maupun Kristen-kristen yang lain?”
“Kenapa kau bilang begitu?”
“Lihat saja semua atheisme atau sosiologi dan psikologi agama semuanya hanya menyerang kekristenan.Dan kristen dapat melewati semua kritik itu”
“Apakah engkau sudah mencari kritik agama lain?”
“Sejauh yang saya cari tidak ada!”
“Kamu cari dimana?”
“Saya cari di internet!”
“Apakah Budhisme bukan kritik terhadap Hinduisme?”
“Saya belum tahu”
“Jangan buru-buru buat keputusan frater…”
“Kalau saya bilang Ahmadiyah adalah kritik terhadap Islam?”
“Belum ada penelitian dan pembuktian yang jelas”
“Iya ya… Jangan buru-buru!”
“Iya anak muda… Jangan buru-buru!”
“Jangan buru-buru juga untuk bilang Ratzinger konservatif dan eksklusif?”
“Iya… jangan buru-buru!. Buktikan dulu sebelum kau bilang begitu”
“Dengar-dengar Ratzinger juga tidak mengakui teologi kontekstual?”
“Mungkin! Kamu bisa belajar teologi kontekstual dari Steven Bevans!”
“Tetapi… Paus Benedictus XVI…”
“Stttt!!! Ratzinger! Bukan Benedictus XVI”, cegah pengajar dogmatik itu keras.

***

“Frater… kapan frater bisa jawab?”, tanya Celline ketika menemui frater lagi di suatu pusat perbelanjaan di kota tersebut.
“Saya belum bisa jawab sekarang”, jawab sang frater.
“Frater tidak usah jawab saja. Saya sudah tahu jawabannya!”
“Bagaimana?”
“Karena saya sudah tidak ke gereja lagi sekarang!”
“Kenapa?”
“Karena saya tidak mendapatkan jawaban apa-apa!”
“Jangan buru-buru buat keputusan!”
“Saya tidak buru-buru! Saya akan tunggu sampai saya butuh gereja baru saya ke gereja!”
“Ouw… itu pilihanmu!”
“Kok frater bilang begitu?”
“Karena saya juga tidak frater lagi…”
“Sejak kapan?”
“Sejak pagi tadi…”
“Kenapa?”
“Tidak ada apa-apa. Tunggu saya dapat jawaban baru saya masuk lagi!”
“Jangan buru-buru frater!”
“Saya tidak buru-buru!”
“Itu pilihan frater”
“Sttttt… bukan frater. Saya bukan frater lagi”
“Maaf… Saya menghargai pilihan saudara”




La Piazza, Kelapa Gading, Jakarta, 17 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar