Senin, 22 Agustus 2011

Ciuman Kekasih

Ciuman Kekasih


“Kan aku sudah bilang kalau aku memang pernah mencium banyak wanita”, kataku untuk beberapa kali menjelaskan kepadanya tentang masa laluku.
“Tapi aku harus tahu kamu pernah ciuman sama siapa saja?” tuntutnya.
“Memang itu penting?”, tanyaku lagi.
“Iya penting…kamu kan pacar aku jadi aku harus tahu masa lalumu”, katanya lagi.
“Apa aku pernah meminta kau menjelaskan masa lalumu?”, tanyaku lagi.
“Kalau kau tanya pasti aku akan mengatakannya”, jawabnya langsung.
“Apa pentingnya sih kamu tahu aku pernah ciuman dengan siapa saja?”
“Supaya aku bisa menjagamu kalau-kalau nanti bertemu dengan wanita yang pernah berciuman denganmu”
“Memangnya engkau pikir aku akan mencium lagi wanita yang pernah aku cium?”
“Tidak!”
“Terus?”
“Aku hanya takut mereka yang akan lebih dahulu mendekat dan menciummu”
“Memangnya kau pikir wanita-wanita yang kucium itu wanita-wanita binal”
“Tidak juga”
“Terus mengapa kau berpikir begitu?”
“Wanita akan mengingat pria yang menciumnya daripada pria yang menidurinya”
“Ah…”
“Iya, karena ciumanmu adalah ciuman yang memabukkan”
“Mungkin mulutku sumber arak segala arak”
“Bukan. Mulut dan bibirmu itu sumber kehangatan yang selalu didambakan”
“Agh….kita omong topik yang lain saja”
“Tidak. Aku mau tanya siapa-siapa wanita yang pernah mendapat kehangatan?”
“Kehangatan apa? Jangan sembarang!”
“Kehangatan dari bibir dan tangan. Ayo katakan berapa wanita yang pernah kau cium dan kau jamah dadanya?”,
“Aku sudah lupa berapa”
“Kurang ajar! Karena terlalu banyak?”
“Iya”
“Katakan kepadaku beberapa yang kau ingat! Siapa-siapa saja mereka?”
“Wanita yang terakhir yang kucium adalah temanmu, Santi”
“Haaaa…kapan?”
“Kemarin sore setelah kau pulang ke kostmu dan dia datang ke kostku”
“Pantas engkau tidak mencium bibirku kemarin! Rupanya engkau sedang mempersiapkan bibirmu untuk bibirnya. Kurang ajar kalian”
“Kami tidak bersalah. Kami hanya mengikuti perintah dari dalam. Awalnya kami berbicara berdua tentang banyak hal, bahkan kami sempat berbicara tentang betapa cocoknya kita berdua”
“Terus bagaimana kalian bisa akhirnya berciuman?”

“Dia menceritakan kekasihnya dan aku berusaha mendengarkannya. Dia mengatakan kekasihnya sudah lama tidak menelponnya. Dia mengatakan dia kesepian dan sejurus kemudian bibirnya berada di pucuk di bibirku”
“Apa?”
“Aku pikir engkau pernah mengalami situasi yang sama. Iya kan?”
“Tidak. Aku hanya bisa berciuman dengan kekasih resmiku”
“Kau wanita yang sempurna”
“Tidak juga. Tak ada manusia yang sempurna”
“Kalau begitu mengapa kau mau menelanjangiku?”
“Bukan mau menelanjangimu, tetapi aku mau tahu lebih banyak tentang dirimu”
“Apa maumu?”

“Supaya aku tahu kamu memang layak untuk diriku”
“Kamu tidak mau menerima masa laluku dan mengampuninya?”

“Bukan begitu! Bukankah kesalahan mesti diketahui terlebih dahulu sebelum kita mau mengampuni atau memaafkan?”
“Benar tapi aku pikir kurang baik kita membicarakan hal ini kini dan di sini. Ada saatnya yang sudah kutentukan”

“Kapan saat itu datang”
“Ketika aku sudah mempunyai keberanian untuk mengatakan”
“Aku memberikan keberanian bagimu sekarang”

“Ini soal keberanian diriku bukan keberanian dirimu atau keberanian kita atau keberanian dari dirimu bagi diriku. Aku harap kau bisa memahaminya”
“Aku bisa memahaminya”
“Terima kasih”
“Kembali kasih”
“Kau cantik sayang…”
“Kau suka?”

“Iya,” singkatku.
“Nikmati saja…”
“Terima kasih, tapi aku belum mau menikmatinya”
“Kamu pasif saja dan aku yang akan beraksi ya…”
“Tidak!”
“Kamu kenapa?”

“Aku tahu kamu mau mengatakan sesuatu”
“Jangan sok tahu!!!”

“Kamu memang begitu. Awalnya kamu menguasaiku terus kamu menanyakan sesuatu padaku atau mau mengatakan sesuatu. Aku mengenalmu lebih baik daripada dirimu mengenalmu”
“Sok tahu ah…”

“Kan kau selalu begitu…haha”
“Karena aku mencintaimu”
“Tapi bukan karena engkau mau menguasaiku kan?”

“Bukan sayang. Bukan aku mau menguasaimu, tetapi aku mau kau menguasaiku”
“Aku tidak pernah mau belajar untuk menguasaimu”
“Tetapi aku mau aman dalam kuasamu”
“Aku sendiri tidak menguasai diriku”
“Cium aku maka mungkin engkau bisa menguasaiku”
“Aku hanya menikmati ciuman yang membagi bukan yang bermaksud menguasai”
“Nah, itu yang menyebabkan kau bisa menguasai banyak gadis sebab gadis-gadis tak butuh dominasi seorang lelaki. Mereka butuh ciuman yang membuat mereka merasa dihargai bukan dikuasai”
“Terus mengapa kau meminta ciuman supaya aku dapat menguasai dirimu?”
“Karena waktu aku merasa aman dengan ciumanmu aku akan memberikan semuanya kepadamu. Kuasai aku dengan ciumanmu biarkan aku aman dalam dekapanmu”
“Aku bahkan tidak mempunyai dada yang mantap untuk menaruh wajahmu yang memukau itu”
“Bukan seberapa lebar dadamu tetapi seberapa tulus cintamu. Kuasai aku, ayo kuasai aku”
“Tetapi aku tidak tahu bagimana cara menguasaimu”
“Cium aku dan berilah aku kebebasan seperti kebebasanmu, maka engkau dapat menguasaiku”
“Aku akan membebaskanmu dengan ciumanku”. Aku mendekati dirinya dan mengecup keningnya, menolak ajakannya untuk menggigit bibirnya, “Aku belum mau ke situ”, kataku menarik bibirku dari bibirnya.
“Pantas adikku bilang ciumanmu adalah ciuman yang memabukkan dan yang membuat penasaran. Engkau berhenti pas pada saat wanita masih mau menikmatinya”
“Ah…”, tersenyum aku memandangnya.
“Engkau bahkan tidak perlu mengatakan masa lalumu lagi. Aku mau menceritakan masa laluku ketika sekarang kau berikan keberanian bagiku. Engkau akan tahu bahwa aku juga pernah berciuman denganmu”
“Aku tidak mengingat itu”
“Kau memang penakluk sejati, namun aku sudah memutuskan untuk mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu sebab aku bebas dan aman bersamamu”


Biara Susteran FSGM, Kampung Ambon, Jakarta, 05 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar