Senin, 22 Agustus 2011

Frans Seda

Seda Laki

Aku ini orang Lio. Orang Lio itu orang Flores tengah. Orang Lio itu patriarkat. Orang Lio itu feodal kalau dia dari keturunan raja dan bermental kacung kalau dia berasal dari keluarga ata ko’o (hamba sahaya). Yang menarik bahwa tidak ada seorang Liopun sekarang yang mengatakan dirinya sebagai hamba sahaya. Masing-masing orang Lio akan mengatakan dirinya sebagai keturunan raja.  Orang-orang Kotabaru dan Watuneso akan mengatakan mereka keturunan raja Lio, tetapi orang-orang di Jopu mungkin akan mengatakan bahwa seorang raja dari Kotabaru telah mengambil posisi raja dari seseorang yang akhirnya melarikan diri ke Jopu. Orang-orang embu Goro di kampong adat Wolotolo akan mengatakan merekalah ata pu’u di kampung itu, tetapi orang-orang embu Ndosi dengan mulut besar mengatakan merekalah raja di Wolotolo. Orang-orang di kampong Saga mengatakan merekalah anak tuan tanah baik dari Sa’o Ata Laki ataupun Sa’o Bele.
Itu sejarah ketika orang-orang Lio masih mengandalkan kepemilikan tanah, kebun dan jumlah istri sebagai acuan untuk status social. Tetapi sekarang orang-orang Lio sudah berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Mungkin ini bukti nyata dari perubahan cara pandang manusia. Hematku perubahan konsep diri dan cara pandang ini adalah jasa besar misi katolik di Lio ratusan tahun lalu. Dengan meyakinkan bahwa setiap orang adalah citra Allah sebagaimana yang diajarkan para misionaris SVD dahulu, orang-orang Lio kemudian yakin bahwa mereka semua bermartabat sama di hadapan Allah. Tidak ada yang beda di hadapan Tuhan. Orang yang paling suci ataupun penjahat kelamin bermartabat sama di hadapan Allah. Orang yang tidak mempunyai kepentingan politik dan para koruptor kakap sama martabatnya di hadapan Allah.
Aku tidak akan menceritakan panjang lebar tentang orang-orang Lio karena aku sekarang tidak sedang di Lio. Aku sekarang di Jakarta. Jakarta itu beda sekali dengan Lio. Di Lio anak-anak miskin bermain di tengah sawah atau di pinggir pantai. Dan anak-anak pegawai negeri atau pengusaha yang agak kaya bermain di pusat-pusat perbelajaan yang ada satu-dua di ibukota kabupaten. Di Jakarta anak-anak miskin bermain di tengah jalan dan rel kereta api. Dan anak-anak orang kaya bermain di pusat-pusat perbelajaan yang jauh lebih mewah daripada Barata atau Hero di kota Ende.
Akan tetapi ada sesuatu yang buat kubangga jadi orang Lio di Jakarta. Aku bangga bukan pada siapa-siapa. Aku bangga pada seorang lelaki Lio yang sekarang sudah tiada. Dia telah mati dan aku di depan makamnya sekarang. Inilah satu-satunya orang Lio yang dimakamkan di sini. San Diego Hill.
***
“Apa yang kau puji darinya?”, kata temanku ketika kami di depan suatu nisan bernama.
“Perjuangan, Ketekunan dan keberanian!”, jawabku.
“Tetapi dia kurang berjasa untuk kemajuan daerah asalnya!”
“Karena dia tahu tidak ada keberhasilan tanpa kerja keras!”
“Tetapi ketika dia mempunyai kuasa kenapa dia tidak menggunakan kekuasaannya meloloskan kita menjadi orang-orang yang sukses sepertinya?”
“Karena baginya kekuasaan itu bukan tujuan. Di tangannya kuasa adalah sarana untuk kebermaknaan”
“Akh… dia terlalu jujur makanya dia tidak dapat apa-apa!”
“Iya… kan dia sudah bilang ke kita kalau dirinya lupa korupsi, hehe”
“Itu masalahnya!”
“Bukan masalah!”
“Masalah!”
“Apa masalahnya?”
“Kaderisasi orang kita mandeg!”
“Karena kaderisasi baginya bukan ambil pasang tanpa perjuangan”
“Terus apa yang dia buat untuk kaderisasi kita”
“Dia dirikan Atma Jaya. Dan kita yang mesti memperjuangkan keberlangsungnya!”
“Atma Jaya itu milik Gereja dan sekarang sudah dikuasai orang Jawa!”
“Kita bukan anggota Gereja? Atma Jaya itu kebanggaan kita. Hanya orang Lio ini awam katolik pertama yang bisa dirikan universitas atas nama katolik. Aku pikir kamu juga mendambakan awam-awam handalkan?”
“Iya… tetapi dia lupa memasang orang-orangnya untuk melanjutkan dia!”
“Kan tadi sudah bilang kalau baginya ‘lanjutkan!’ itu artinya dengan perjuangan! Hidupnya saja penuh perjuangan sejak dia masih di kampong sana”
“Macam tahu-tahu saja!”
“Sedikit tahu dari cerita orang kalau dia dulu harus jalan kaki mendaki jalanan setapak puluhan kilo meter untuk mengikuti misa hari Minggu. Sabtu sore dia dan ayahnya yang guru agama di kampungnya akan memulai perjalanan ke gereja Mageria”
“O iya?”
“Iya… Betapa kaget dan tersipu malunya bapak Woda Pale waktu dia bercerita tentang jauhnya dia dahulu mesti gereja ke Mageria setelah jalan kaki dari Maulo’o dibandingkan dengan bapak ini yang berjalan kaki dari Lekebai ke Mageria”
“Dia sudah belajar berjuang sejak masa kecilnya!”
“Iya… dia belajar memaknai jalan kakinya sejak usia kecilnya. Menaklukan gunung-gunung di Lio timur. Menantang kerasnya alam pinggir pantai ketika mesti mencari kayu bakar di balik Gunung Meja ketika dia tinggal di asrama frateran di Ndao sana. Berjalan kaki mengelilingi Jakarta baik dalam situasi rekreasi maupun situasi terpaksa. Berjalan kaki dari asrama ke kampusnya waktu dia di Belanda”
“Itu yang tidak kita punyai!”
“Dan itu yang harus kita sadari!”
“Ternyata sejarah berjuta-juta kilo meter itu dimulai dari langakah seorang anak di sebuah kampong Lio itu. Seandainya sepatu –sepatunya bisa berkisah…”
“Jangan-jangan dia berjalan kaki tanpa sepatu!”
“Bisa jadi!”

***
“Apa yang bisa kau banggakan sebagai orang Lio?”
“Tidak ada!”
“Bukannya tanah kalian itu subur di gunung-gunung dan banyak potensi tambang di wilayah-wilayah tertentunya?”
“Jangan kau bunuh kami dengan puja-puji kesuburan yang buat kami malas dan angan-angan tambang yang buat kami kaya mendadak dan setelah itu cucu-cucu kami mati kelaparan!”
“Tetapi Jakarta ini kejam… Semua orangmu telah menyetujui proyek tambang itu! Engkau tidak bisa hidup begini-begini saja! Kebutuhan makin hari makin bertambah!”
“Enyah kau iblis! Kalau pun itu nasib kami miskin tanpa tambang izinkan kami membuktikan takdir kami! Jangan bawa konsep kejam dalam otakmu ke Pulau kami di sana!”
Suara itu menghilang dan sekarang kami tahu bahwa kami mesti bekerja untuk hidup bukan berleha-leha di belakang meja di Jakarta sambil menikmati lubang-lubang eksploitasi di tanah kami. Kami tahu orang-orang Lio Jakarta bukan orang-orang sadis yang menikmati mutilasi wilayah-wilayahnya.
“Jangan kau beri rakyat kami angan-angan enaknya tambang dengan menjadikan mereka masokis yang merayakan penderitaan cucu-cucu mereka kelak!”, teriakku keras, “Karena hidup mesti diperjuangkan dan karena makanan kita mesti dari kerja tangan yang halal untuk jadi bagian kita”.
Thanks Bapak Frans. Kami akan ‘jalan kaki’ mulai dari detik ini untuk membuktikan nasib kami.



Taman Frans Seda UAJ, San Diego Hill, 18 Februari 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar