Senin, 22 Agustus 2011

POCE (Bingkisan ULTAH buat Pater Budi Kleden, SVD)

Cerpen:
(Bingkisan ULTAH buat Pater Budi Kleden, SVD)

Poce
Oleh : Gusti Tetiro

Dia barusan keluar dari kamarnya ketika kami menjemputnya untuk sebuah kuliah eskatologi yang kami nanti-nantikan. Dia adalah dosen terbaik yang kami miliki. Setiap kuliah pilihannya adalah sesuatu yang wajib bagi kami, karena kami selalu memilih tawaran kuliahnya dan pilihan kami bebas dan kami bahagia kalau bisa hadir di kelasnya. Menanti kehadirannya di ruang kuliah adalah kerinduan bagi kami dan bertemu langsung serta berdiskusi dengannya adalah kebahagiaan bagi kami.
“Maaf... Saya baru datang dari Detusoko”, jawabannya dengan senyuman kepada kami sambil berlangkah cepat di lorong biaranya. Dia selalu menjawab atau berkomentar dengan singkat dan tidak mau membangga-banggakan diri. Kami semua tahu bahwa beliau barusan datang dari Detusoko setelah seminar penolakan tambang dengan para imam Keuskupan Agung Ende. Dia tidak pernah mengatakan kalau dia kemarin jadi keynote speaker untuk acara seminar tersebut. Dia malah bercerita tentang dinginnya udara Detusoko dan segarnya buah-buahan di Pasar Ndu’aria.
Itulah dosen eskatologi yang kami bangga-banggakan dengan sepenuh hati kami. Dia orang biasa tetapi dia mempunyai akal budi dan kepribadian yang luar biasa. Dia orang biasa dan kami juga mengetahui kalau dia orang biasa yang mempunyai dua mata yang sudah dibantu dengan kacamata, kulit hitam khas Flores Timur, dan mempunyai anggota-anggota badan lain yang sama seperti kami. Akan tetapi, kami juga tahu kalau dia orang luar biasa: otaknya luar biasa, kepribadiannya luar biasa, dan kerendahan hatinya luar biasa. Luar biasanya adalah keistimewahan dalam kualitas. Dia dikenal oleh orang-orang pintar senegara tetapi dia tetap bertegur sapa dan bermain seperti biasa dengan kami yang biasa-biasanya saja. Biasanya dia bermain takraw di sore hari untuk mendekatkan dirinya dengan para konfrater mudanya.

***

“Engko mau jadi apa No kalau su tamat dari SD nanti?”, tanya uskup suatu ketika dalam pertemuan dengan anak-anak di sebuah paroki pinggiran kota Larantuka. Uskup itu pamannya sendiri.
“Kita  mo jadi macam Om Tuan saja le...”, jawabnya singkat.
“Engko mau jadi pater ko? Engko mau masuk seminari ka?”, tanya Bapa Uskup itu  lagi.
“Mau ka kalau nanti tamat jo kita daftar, testing seminari Hokeng...Om Tuan doakan kita supaya bisa lulus e Om Tuan...”, jawabnya polos dan nakal sebagai anak kecil.
Terdapatlah dalam pikirannya untuk menjadi seorang imam SVD yang baik. Setiap hari dia sempatkan diri mengikuti misa pagi di gerejanya yang di pinggir pantai itu. Setiap hari dia belajar berdoa. Setiap kesempatan kalau bisa dipakainya untuk berdoa, dia akan berdoa. Dia merasa bersalah dan takut kalau dia tidak berdoa atau misa. Dia takut bukan pada siapa-siapa. Dia malu dan takut pada Tuhan yang “matanya sebesar alat penampih beras dan telinganya selebar tutpan dandang 15 kilo gram beras”, kata-kata guru agamanya mengiang di hatinya.
Setiap hari dia juga biasakan dirinya untuk menjadi misdinar di parokinya. Rutinitasnya yang ini dilakukannya dengan senang hati karena setiap kali selesai misa dan menjalankan tugas sebagai misdinar biasanya mereka diberi makan enak oleh misionaris yang asal Eropa itu. Hari ini mereka dapat ice- cream, kemarin mereka dapat roti mentega. Biasanya setiap hari mereka akan menyantap makanan-makanan yang hanya ada di Eropa dan tidak ada di Flores: susu Swiss, sossis, dan lain-lain. Pater Misionaris itu sangat menyayangi dan memanjakkan mereka. Dia bercerita tentang Eropa, terutama Jerman, yang indah dan maju. Dan Modern.
“Jerman itu modern. Kota-kotanya indah. Di tengah-tengah kota selalu ada Katedral, jadi anak-anak macam kalian bisa berdoa kapan saja di katedral. Anak-anak di sana bahagia kalau bisa jadi misdinar,” cerita misionaris itu penuh semangat.
“Tuan, di sana anak-anak biasa mandi di laut macam kita ka tidak?”, tanya seorang anak ingin tahu.
“Di sana anak-anak mandi di kolam renang yang modern. Di pinggir kolam ada orang yang su siap roti mentega dan jus jeruk. Jadi kalau mereka habis mandi mereka duduk di pinggir kolam sambil makan roti mentega dan minum jus ka”, jelas pastor yang sekaligus antropolog itu.
“Kalau begitu kita ju mau ke sana le...”, celetuk Poce langsung setelah itu.
“Engko mau ke sana ka?”, tanya pastor itu langsung kepada Poce.
“Iya ka tuan... di sana enak juga, kita mau ka...”, jawabnya polos lagi-lagi, “tapi begena maka kita bisa ke sana? Kita ter ada uang le..”
“Kalau engko mau bisa ka... Engko jadi tuan macam engko pu om Tuan to bisa ke Roma, Jerman, Amerika suka-suka...Engko mau ka? Ayo... biar kita urus engko masuk Hokeng ka”, undang misionaris itu.
“Kita mau le tapi kita mesti tanya bapak mama dulu le...”
“Itu ma gampang ka.... kita baru bicara dengan engko pu bapak ju bae e No...asal engko mau sa...”
Hari-hari selanjutnya kata “Jadi Tuan dan pergi ke Eropa” adalah semacam sesuatu yang selalu ada di pikirannya. Di rumah, mereka mempunyai kebiasaan doa lima waktu sebagai orang katolik. Dimulai dengan Ibadat Bacaan jam 3 pagi, laudes jam 5 pagi, ibadat jam 12 siang sekaligus dengan doa angelus, vesper jam 6 sore dan ibadat penutup sebagai completorium jam 9 malam.
Ayahnya seorang guru sekolah dasar, anggota DPP urusan liturgia. Setiap hari anak-anaknya dididik sebagaimana dulu dia dididik oleh para misionaris Eropa di kota Reinha Rosari Larantuka. Ada waktu berdoa, ada waktu untuk belajar, ada waktu untuk bermain secara kreatif. Keluarga besar mereka memang terkenal di kotanya sebagai keluarga yang pintar dan bijaksana. Banyak anggota keluarganya jadi orang penting dan dikenal baik. Ini suatu pencapaian istimewa sebab jarang sekali orang-orang penting yang sekaligus jadi orang baik.
“Bapak dengar dari tuan di Gereja kalau Poce mau jadi pater ka?”, tanya bapaknya ketika mereka makan malam bersama di rumah.
“Iya bapak...”, jawab Poce sopan.
“Kalau mau jadi pater mesti rajin berdoa dan belajar No... di Hokeng sana tidak ada anak yang dapat 7. Mereka semua mesti dapat 8, kalau dapat 7 mereka keluar. Poce bisa ka?”
“Iya bapak. Kita pasti tekun di sana”
“Engkau mesti rajin belajar bahasa Latin No... Di sana tuan-tuan bicara bahasa Latin dan baca buku-buku bahasa latin No...”
“Kita ti tau apa-apa le...”
“Engko bisa kalau mau belajar.  Makanya mulai sekarang jangan terlalu mandi air laut ka, urus belajar juga,” nasihat bapaknya untuk kesekian kalinya supaya Poce jangan terlalu mandi laut, “nanti kau capek malam-malam dan tidak bisa belajar”.
“Jangan terlalu mandi laut ju awas No pu telinga terganggu,”  tambah ibunya yang sedari tadi hanya mendengar pembicaraan ayah-anak itu.
Poce hanya tersenyum mendengar ibunya. Poce tersenyum karena Poce tahu ibunya selalu cemas jangan-jagan anak laki-lakinya tenggelam sebab dua minggu lalu ada satu orang Solor yang tenggelam di laut yang sama.
Setelah tamat dari SD, pastor parokinya mendatangi rumah keluarga katolik yang saleh ini dan menyampaikan kalau Poce lulus testing dan mesti siap-siap masuk seminari Hokeng. Keluarga ini menyiapakan anak laki-lakinya dengan keperluan sebagaimana yang diminta oleh seminari. Ada buku-buku doa seperti Bapa Kami, Madah Bakti, Tuhanlah Gembalaku. Ada Rosario dan buku-buku novena dan adorasi Sakramen Mahakudus. Ada tikar yang ayahnya beli dari seorang Roga, suku Lio, penjual tikar. Ada peti pakaian yang warisan Om tuannya. Dan hal-hal lain yang diperlukan oleh seorang seminaris.
Satu jenis makanan yang paling penting bagi Poce tentu saja jagung titi yang kalau setiap kali makan dia akan mengenang rumah dan seisi rumahnya. Maka pada saat itulah air matanya mengalir mengingat ibunya yang selalu memanjakannya, mengingatkan dia akan tata Oa yang baik dan ade-ade yang lucu di rumahnya. Jagung titi juga akan mengingatkan pada “Cahaya Harapan”, perahu yang selalu dipakainya untuk bermain-main dengan temannya di laut. Dia mengingat teman-teman mainnya di kampung. Ingin hatinya mau pulang ke rumah dan bermain dengan teman-temannya tetapi seminari Hokeng terlalu enak untuk dilepas karena ingatannya akan “Jadi Tuan dan Pergi ke Eropa”. Tidak ada jalan lain untuk seorang anak remaja awal Flores waktu itu untuk mencapai impiannya melihat Eropa kalau bukan menjadi pastor misionaris.
Di Hokeng dia resmi menjadi seorang seminaris. Hari-harinya dilalui sebagaimana seorang seminaris yang tentu saja hampir sama dengan yang biasa dilaluinya di rumahnya. Hanya di sini dia mulai mengenal bahwa ada 5S untuk seminaris. Dia mendidik dirinya dalam bidang sapientia, scientia, sanitas, santitas, dan sosialitas.
Dia disukai teman-temannya karena dia biasa membantu mereka setiap kali mereka membutuhkan penjelasan yang lebih baik tentang mata pelajaran berhitung atau bahasa Latin. Bahasa Latin dipelajarinya dengan sungguh-sungguh. Dia menyukai bahasa kuno itu karena keindahan bunyinya dan aturan-aturan tata bahasanya yang mengajak akal untuk berpikir kreatif dan disiplin. Dia menghafal banyak sekali proverbiae dan adagium bahasa Latin seperti “Si vis amari, ama!”, “Amare parentes prima naturae lex”, “Dum spiro, spero”. Nah untuk proverbia yang terakhir ini dia membaliknya dengan kreatif dengan mengatakan bahwa, “Dum spero, spiro”, dan banyak lagi proverbiae yang lainnya.
Dia menyelesaikan masa studinya di Hokeng dengan predikat nilai yang istimewa dan rapor kepribadian yang sangat memuaskan. Penilaian para formatornya menunjukkan dia sebagai siswa teladan dan votasi dari teman-temannya mengatakan bahwa dia adalah yang terbaik dari antara mereka kecuali seorang temannya yang selama masa-masa pendidikan di seminari selalu melihat kelemahan Poce sebagai seorang anak yang terlalu lemah dan sakit-sakitan. Temannya itu ternyata adalah orang yang selalu menjadi pesaingnya dalam bidang akademik, namun hasilnya selalu kalah pintar daripada Poce.
Mendapat pujian semacam itu Poce masih menunjukkan kerendahan hatinya bahkan dia tidak memusuhi teman yang menilai miring dirinya itu. Dia selalu ingin menjadi, “bonus socius,” bagi semua orang. Setamat dari seminari Hokeng dia dihadapkan pada pilihan untuk masuk ke ordo atau tarekat yang mana. Ada projo yang menawarkan spiritualitas imamat untuk gereja lokal untuk menjadi imam yang melayani paroki-paroki di keuskupan Larantuka. Ada OFM yang mengajak anak-anak kelas 7 Seminari Hokeng untuk bergabung menjadi saudara hina dina. Ada SVD yang menawarkan spiritualitas aktif dan kontemplatif sebagai seorang misionaris yang siap diutus ke mana saja, ke ujung dunia sekalipun . Dan beberapa ordo dan tarekat lain yang mengajak anak-anak seminari menengah untuk bergabung dengan melayani Tuhan dan sesama dalam komunitas mereka.
Pilihan Poce jelas yakni ingin menjadi seperti Om Tuannya karena menurut dia, SVD adalah pilihan terbaik karena dia menggabungkan yang aktif dan yang kontemplatif. Ada saat untuk berdoa secara khusuk, ada saat untuk berkarya dan  terlibat dalam harapan dan kecemasan, duka dan derita, tawa dan canda umat manusia. Baginya teladan hidup dan ajaran Yesus yang dikembangkan oleh Bapa Arnoldus Yansen, imam projo yang mendirikan tarekat SVD itu, adalah model perwujudan imam yang baik dan layak diikuti. Maka, diapun harus beralih, pindah ke bukit sandar matahari, Ledalero, sebagai novis SVD.
Di Ledalero Poce bertumbuh dan berkembang baik sebagai seorang novis SVD. Dia mengasah kecerdasan spiritualnya dalam doa-doa yang khusuk sebagai tuntutan hidup membiara. Dia menjalankan dan selalu merefleksikan dan mengamalkan pentingnya dan indahnya hidup seturut ketiga kaul yang diucapkannya. Dia memilih menjadi miskin, namun kaya di hadapan Tuhan. Dia memilih menjadi murni dengan tidak berfobia pada sesama. Dia memilih untuk taat namun senantiasa berubah sesuai zaman sebagi murid Kristus. Dan yang paling dikenang oleh teman-temannya adalah dia selalu mempunyai rasa takut yang baik dan kudus pada Tuhan yang dia sembah dengan benar.
Ketika Poce menjadi seorang mahasiswa filsafat agama di semester tiga dia menulis apa yang dialaminya sebagai “Rasa Takut yang Baik dan Kudus pada Tuhan” dan tulisannya itu diterbitkan dalam “VOX” majalah yang notabenenya berisi tulisan tetapi diberi nama suara. Vox adalah suara. Tulisannya itu adalah gambaran akan kehidupannya sendiri sebagai seorang filosofen yang sedang menyiapkan diri untuk belajar teologi, maka menurutnya berteologi yang baik sebenarnya mesti berangkat dari rasa takut yang baik dan yang kudus pada Tuhan sebagai Yang Suci. “Tidak ada teolog yang bagus yang bukan merupakan filosof yang bagus”, demikian kata-kata dosen metafisika dan filsafat ke-Tuhan-an lulusan Gregoriana, Roma yang selalu jadi kata-kata paling inspiratif bagi Poce.
Karena ketekunannya Poce kemudian dikirim ke Austria dan Jerman untuk menjadi misionaris muda di sana. Tidak banyak hal yang diketahui keluarganya tentang apa yang dibuat Poce di sana. Yang pasti bahwa Poce bahagia, tetapi tidak sombong. Dia bangga, namun sadar diri untuk selalu rendah hati.

***
Kami juga tidak tahu apa yang dia lakukan di Austria dan Jerman. Yang kami tahu bahwa dia sekarang ada di depan kami dan mengajar kami untuk mempertanggungjawabkan iman katolik kami secara benar. Dia bisa berbicara tentang banyak sekali lahan akademik dan disiplin ilmu. Dia menggunakan dengan mahir filsafat sebagai metode berpikir, sastra sebagai penggunaan bahasa yang estetis dan teologi sebagai bidang spesialisasinya. Dia bisa bercerita dengan sangat hebat lintasan sejarah filsafat mulai dari Thales dari Miletos hingga Jurgen Habermas dan Gadamer di Jerman atau Derrida di Prancis dan Richard Rorty di Amerika. Dia bisa menjelaskan banyak sekali karya sastra terutama karya sastra Jerman dan Indonesia. Dia menyukai Goethe di Jerman dan Rendra di Indonesia. Dan untuk teologi, dia adalah kompendium dan ensiklopedi teologi berjalan yang sangat istimewa. Dia menguasai semua cabang teologi mulai dari teologi wahyu hingga eskatologi sebagai teologi sejarah. Hal inilah yang membuat kami menyukai kuliah-kuliahnya.
Apa yang dikatakan dan diajarkannya bagi kami adalah kebijaksanaan meskipun kami tahu bahwa kami dan juga dia bukanlah pemilik kebijaksannaan tetapi pengabdi kebijaksanaan. Dia selalu mengajak kami untuk terlibat, untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang miskin dan lapar di sekitar kami, di Wuring, di Feondari, di tempat-tempat yang dieksploitasi untuk tambang sebagai hasil kerja sama pemerintah dan pengusaha-pengusaha kaya. Dia mengajak kami bukan hanya dalam kuliah-kuliahnya saja tapi dalam setiap perjuangannya di luar sebagai imam Gereja.
Dia mengajak kami untuk menjadi teolog dengan gaya naratif yang indah. Dia bercerita tentang Karl Barth yang mengatakan bahwa teolog ideal zaman ini adalah teolog yang memegang Alkitab di tangan kanannya dan koran di tangan kirinya. Dia juga menceritakan anekdot  tentang imam Flores dan imam Amerika Latin dalam memperlakukan Alkitab. Kalau imam di Amerika Latin merasa gelisah setelah membaca Alkitab sedangkan imam di Flores membaca Alkitab sebagai bacaan pengumpan tidur siang dan malam.
Pelajaran eskatologi hari ini diakhiri dengan jawabannya atas pertanyaan seorang biarawati, rekan kuliah kami, “Apakah kerajaan Allah adalah sesuatu yang terjadi di masa yang akan datang?”
“Already but not yet”, jawabannya dengan sangat jelas. Dia kelihatannya mau melanjutkan penjelasannya akan pertanyaannya itu tetapi dia dibatasi oleh waktu. Kami menebak bahwa dia mungkin sengaja menghentikannya supaya kami bisa mencari sendiri apa penjelasannya atas jawaban singkat itu. Bukankah berteologi harus menjadi studi yang paling riil dalam kehidupan nyata? Dia bisa berbicara tentang semua bentuk ateisme namun dia, masih sebagai Poce, memilih untuk selalu mempunyai rasa takut yang kudus pada Tuhan.
Tepat pukul 12. 00 siang itu ketika kami harus berarak ke kapela untuk berdoa angelus kami telah melihat dosen eskatologi sebagai teologi sejarah sedang berlutut di hadapan Tuhan yang disembahnya dengan benar. Dia sedang menyembah keberadaan Tuhan yang benar, Yang Suci sebagai mysterium, tremendum et fascinans. Itulah Tuhan yang tidak bisa ditaklukakn oleh ilmu apapun, termasuk oleh akal budi itu sendiri.
            Kami selalu tahu bahwa dia adalah orang biasa yang sama seperti kami: berasal dari sebuah kampung sederhana di Flores, dari keluarga guru yang sederhana. Dan yang kami tahu bahwa dia memulai kehidupannya dengan impian dan impiannya menjadi kenyataan dalam komitmen dan kerja kerasnya. Penulis “The Secret” mungkin baru menulis bukunya sekarang, tetapi dosen kami ini sudah melakukan apa yang ditulisnya sejak masa kecilnya dan sekarang dia ada bersama kami tentu saja untuk menginspirasi kami supaya menjadi luar biasa. Tentu saja dengan cara dan gaya kami masing-masing. Bahan boleh sama tetapi pemahaman dan gaya kita berbeda, itu kata-katanya yang selalu kami ingat.


Kelapa Gading, Jakarta, 16 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar