Senin, 22 Agustus 2011

Surat Guru kepada murid-muridnya

Surat Guru kepada muridnya

Anak-anakku yang terkasih…
Hidup ini sebuah hadiah. Hadiah yang diberikan secara cuma-cuma oleh Tuhan. Hidup ini sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Hidup ini sebuah kebebasan. Kebebasan yang diberikan oleh Tuhan Sang Pembebas. Hidup ini sebuah pilihan. Pilihan yang kiranya bisa membuat kita sadar bahwa dalam hidup ini selalu ada hitam dan putih, terang dan gelap, besar dan kecil, yin dan yang. Singkatnya, saya hanya mau mengatakan kepada kalian bahwa hidup ini sebuah hadiah kebebasan yang harus disikapi dengan pilihan. Dan sejarah sudah selalu membuktikan bahwa pilihan untuk menjalani kehidupan sebagai kebebasan yang bertanggung jawab adalah pilihan terbaik yang selalu ada sebab pilihan untuk bebas yang bertanggung jawab selalu mengantarkan kita kepada kebahagiaan. Bukankah yang kau cari dalam kehidupanmu adalah kebahagiaan? (Dan yang mungkin jadi masalah untuk kita semua bahwa tidak ada kesuksesan dan kebahagiaan tanpa ketekunan dan tahan-banting untuk selalu memilih bebas bertanggung jawab!)
Ah saya berceramah saleh terlalu banyak. Pasti kalian bosan mendengar nasihat bijak ayah-ibu di rumah, ceramah moral bapak-ibu guru di sekolah dan kotbah-kotbah saleh romo, pendeta, atau ustad di tempat-tempat ibadat masing-masing.
Ini cerita tentang aku dan teman-temanku waktu sekolah dulu. Kami sekolah di suatu lembaga pendidikan yang agak unik. Keunikan itu karena beberapa hal: murid-murid sekolah kami semuanya laki-laki, kami dilarang berpacaran, kami mesti tinggal di asrama dengan berbagai aturan yang agak aneh untuk kalian sekarang: bangun pagi jam 04.30, mandi, berdoa dan misa kudus, makan pagi, sekolah, doa siang, istirahat siang, kerja tangan di taman atau ruangan, olahraga, mandi, studi sore, berdoa, makan malam, studi malam, doa malam, sikat gigi dan tidur malam. Itu aturan baku setiap hari.
Jangan buru-buru bilang saya tradisional dan konservatif karena saya selalu melihat ke belakang ya… Saya tidak akan mengatakan bahwa system pendidikan kami dulu itu lebih baik daripada kalian sekarang. Sistem pendidikan kita sama untuk suatu zaman yang berbeda. Ketika kalian sekarang ke mal dengan alasan sosialisasi biar tidak kuper, kami dulu juga masuk ke kampong-kampung cari teman bermain bola di tanah lapang biar tidak dibilang kuno. Ketika kalian sekarang bercerita tentang CSI dan minat kalian dalam dunia detektif, kami juga dulu sudah diajak oleh seri Sapta  Siaga dan Lima Sekawan hingga Agatha Christie untuk bertualang sebagai detektif dan kami mensimulasinya di tengah-tengah kebun asrama kami. Ketika kalian sekarang sibuk berteman melalui facebook, twitter, atau YM, kami dulu juga berteman melalui surat-surat cinta yang menggebu-gebu. Ketika kalian sekarang makan makanan-makanan barat sejenis KFC, McD, Hok-Ben, kami juga sudah melahap roti daging dan susu Swiss yang langsung didatangkan dari Eropa. Sebenarnya tidak mempunyai perbedaan, tetapi kita tidak bisa menutup mata kalau ada para ahli dan amatiran pendidikan yang mengatakan anak-anak sekarang hidup dalam suatu zaman instan, siap saji, dan mentalitas big-boss. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan hal yang sama. Saya bahkan lebih setuju bahwa kita mempunyai kenikmatan-kenikmatan masing-masing sesuai zaman dan tempat dimana kita berada.

Anak-anakku yang baik…
Kita berteman dan saya senang kalian menyapa saya sebagai “SOCIUS!”.  Socius itu teman, sahabat, rekan. Sebagai teman saya mau bercerita tentang teman-teman saya ketika kami seumuran kalian.
Bagi saya, teman-teman saya itu bisa dibagi dalam dua kelompok besar. Ada teman-teman yang bisa belajar dengan cepat. Sekali dengar mereka akan mengingat hingga ulangan. Mereka hanya membutuhkan sedikit waktu untukk belajar menghafal semua pelajaran. Dan mereka selalu mendapat nilai yang sangat memuaskan dalam ulangan-ulangan dan ujian. Mereka ini biasanya jumlahnya sangat sedikit. Kelompok kedua adalah teman-teman yang harus belajar dua-tiga kali untuk bisa mengimbangi teman-teman kelompok pertama yang hanya belajar sekali. Saya dan banyak teman ada pada kelompok ini. Kelompok kedua ini membutuhkan keterlibatan lebih banyak panca indra dalam proses belajarnya. Setelah mendengar penjelasan guru mereka mesti mencatat dan sore harinya mereka mesti kembali mengulang bahan yang sama untuk memastikan ingatannya. Bahkan ada yang harus menggunakan peragaan gerak dan simulasi belajar kelompok yang lebih serius. Kami tidak pernah membuat kotak-kotak dalam berteman. Kami bergaul akrab. Kelompok pertama menghormati kelompok kedua. Kelompok kedua mengakui keunggulan kelompok pertama. Ada satu yang aku ingat bahwa kelompok pertama biasanya agak pendiam, kurang berbakat dalam olahraga atau seni, dan suka berdoa. Kelompok kedua biasanya lebih aktif dalam olahraga dan seni dan agak malas berdoa. Tentu saja ini bukan sesuatu yang mutlak. Ada satu-dua teman jenius yang juga berbakat dalam olahraga dan seni. Begitu juga ada teman-teman yang sulit belajar tetapi juga tidak menampakkan bakat dalam olahraga dan seni serta malas berdoa.

Anak-anak terkasih, Apa yang terjadi setelah 6 tahun kami meninggalkan asrama yang ketat itu?
Banyak teman saya yang ada di kelompok pertama belum merampungkan kuliahnya dan tidak bergairah mencari kerja mandiri. Mereka masih menggantungkan hidupnya dari orang tua mereka di kampong halaman sana. Sementara itu teman-teman yang ada di kelompok dua banyak yang sudah sarjana dan tekun bekerja dalam lahan-lahan pengabdian mereka. Ini juga bukan suatu kesimpulan yang mutlak. Ada temanku yang jenius sukses menjadi pengusaha dan eksekutif muda. Ada juga yang menjadi dokter terkenal. Ada juga yang mengkhianati etika studinya dengan memasuki perusahan-perusahan yang tidak ramah manusia dan lingkungan. Sebaliknya, ada juga teman-temanku yang kelompok dua yang masih berkuliah sambil beberapa dari mereka mencari kerja atau menjadi aktivis.
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini? Saya tidak mau menghakimi. Kalian sudah besar dan kalian berhak untuk menafsirnya. Kalaupun saya harus menafsir maka tafsiranku hanyalah satu dari banyak tafsiran yang mungkin bisa dibuat. Bagiku hidup adalah perjuangan yang kalian hafal sebagai “Vita est militia!” dan “NO PAIN NO GAIN” setelah kalian menanyakan apa arti proverbiae yang saya tulis di depan mading kelas kita.
Karena hidup adalah pilihan untuk berjuang menjadi bebas bertanggung jawab maka semua perjuangan dari teman-temanku kelompok dua untuk duduk tekun belajar semua mata pelajaran di asrama dulu sebenarnya bukan berdasarkan motivasi dan ambisi untuk menjadi sejarawan terkenal yang menghafal semua perang di Indonesia serentak menjadi matematikawan yang handal dalam menghafal deret angka, bukan juga untuk menjadi ahli geografi yang menghafal semua garis bujur dan garis lintang semua negara di dunia serentak menjadi ahli biologi yang bisa menghafal seluruh anatomi tubuh manusia dan kehidupan hewan-hewan dan tumbuhan. Tidak! Semua itu sebenarnya adalah latihan untuk berjuang tidak kenal lelah dan membuang rasa putus asa. Bagi saya itu semua adalah latihan dasar untuk memenangkan kehidupan yang mewajibkan kita untuk tekun bekerja ini.
Anak-anakku, ini hanyalah tafsiran saya dan tafsiran saya ini selalu belum selesai. Mungkin untuk membuka ruang bagi tafsiran baru, mungkin juga karena saya sadar bahwa saya tidak akan menafsirnya secara tuntas. Tafsiran ini mungkin cacat, tetapi kalau seandainya ada hal baik bawalah sebagai bekal mungkin untuk satu minggu ke depan. Ini tidak muluk-muluk dan bertele-tele kan? Hehe… Kan kalian tidak suka dengan guru yang bertele-tele…
Anak-anakku, selamat belajar aja ya…
Hidup ini adalah pilihan. Pilihan yang terbaik adalah pilihan untuk bebas bertanggung jawab dalam ketekunan untuk mengerjakan apa yang harus kita kerjakan. Percaya gak percaya: Semakin kita bertanggung jawab, kita semakin bebas dan berbahagia.
Anak-anakku…. Amin? Amin!!! Amin? Amin!!! Amin? Amin!!! Hehehe… persis seperti kita akan mengakhiri pelajaran agama dengan mengatakan “Amin!”. Amin itu iman, Amin itu juga aman. Amin! (Nah lihat saya mulai berceramah saleh lagi kan? Hehehe)
Selamat belajar ya…
Salam,

Gurumu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar