Senin, 22 Agustus 2011

Mantan Orang Kudus

Mantan Orang Kudus



Aku baru saja pulang dari senayan. Kami rapat semalaman. Setelah rapat kami ke hotel di dekatnya dan merayakan apa yang biasa kami rayakan: makan enak sepuasnya, minum anggur sebanyak-banyaknya, mabuk dan mulai mencari pasangan untuk meledakkan dinamit asmara, lebih tepatnya nafsu shyawat.

Pagi harinya aku bangun di atas rajang hotel bintang lima namun pasanganku sudah tiada, mungkin sudah pulang ke markasnya. Dan satu hal yang pasti: isi dompetku pasti berkurang setengahnya.

Aku pulang ke rumah. Putri, putri pertamaku, duduk manis depan teras sedang membaca. Itulah kebiasaan baiknya yang turun dari kebiasaanku. Dan hari ini dia membaca sebuah majalah tua. AKADEMIKA namanya, tepat di halaman terakhir pada sebuah rubrik yang diberi nama BOX.

Aku melihat tulisan itu. Itu tulisanku waktu masih di kampus dulu. Kuambil majalah itu dari tangannya dan mulai kubaca:







TIGA KEHENDAK, DUA GAYA, SATU KOMITMEN

(Bukit Sandar Matahari, sehari setelah merayakan hari HAM, 11 Desember)



Kehendak adalah sesuatu yang mendorong manusia untuk menentukan apa yang mesti dia pikirkan, apa yang bisa dia lakukan dan apa yang boleh ia harapkan. Kehendak manusia sangat beraneka ragam. Ada kehendak untuk mencintai, ada kehendak untuk membenci, ada kehendak untuk mendukung atau menghalangi, ada kehendak untuk mengatakan kebenaran atau menyangkali kebenaran. Berbagai contoh lain dapat disebutkan di sini. Tujuan akhir dari semua daya kehendak manusia tidak lain dan tidak bukan adalah kebahagiaan. Setiap dorongan kehendak manusia berarak menuju kebahagiaan manusia. Kita mencintai karena kita yakin bahwa kita akan berbahagia. Kita membiayai anak dan adik kita karena kita ingin kita dan dia berbahagia. Kehendak baik selalu mulia dan membawa kebahagiaan.

Begitu juga dengan kehendak buruk seperti mencuri atau membunuh. Pada waktu seseorang mencuri atau membunuh tujuan akhirnya tentu saja ia ingin menggapai kebahagiaan. Misalnya seorang yang mencuri mengimpikan kebahagiaan yang akan ia raup dari hasil curiannya itu. Seseorang membunuh karena ia ingin yang terbunuh itu mesti mati agar ia bisa hidup tenang dan bahagia.

Dalam relasinya dengan orang lain, manusia selalu mengarahkan kehendaknya. Ada tiga kelompok besar dari kehendak manusia. Pertama, ada kehendak untuk kenikmatan (will to pleasure). Dalam kehendak model ini, manusia melihat semua hal di sekitarnya sebagai objek untuk dinikmati. Alam adalah objek untuk dinikmati, manusia lain adalah juga tujuan penikmatan hidup. Kedua, kehendak untuk berkuasa (will to power). Dalam potret ini, manusia melihat dirinya sebagai penguasa atas alam dan manusia lainnya. Ketiga, kehendak untuk bermakna (will to meaning). Dalam kerangka ini, kehendak diarahkan kepada sesuatu yang baik yang menghantar manusia berbahagia karena ia mampu mempertanggungjawabkan kehidupannya sebagai pribadi yang bermakna dalam nilai-nilai kreatifitasnya, nilai-nilai pengalamannya, dan nilai-nilai bersikapnya. Kehendak untuk bermakna akhirnya juga berarti kehendak untuk mencintai (will to love).

Pemilihan gaya dalam pengarahan kehendak itu ditentukan oleh cara manusia melihat dirinya dan sesama dan alam. Ada dua cara dan gaya. Pertama, gaya menjadi serigala bagi sesama (homo homini lupus). Dalam gaya ini, manusia melihat dirinya dan sesamanya sebagai serigala yang mesti saling berperang agar bisa lebih berkuasa. Dalam gaya ini orang-orang merayakan konflik dan memuja kekuatan, kenikmatan dan kekuasaan. Orang-orang menjadi sadistis sekaligus masokis. Kedua, gaya menjadi sahabat satu sama lain (homo homini socius). Dalam gaya yang kedua ini, kita melihat sesama dan alam sebagai sahabat yang saling melengkapi satu sama lain. Kehadiran sesama dan alam menuntut tanggung jawab dari pihak kita.

 Hidup ini sebuah pilihan. Manusia mesti memilih dan pilihan manusia mesti dapat dipertanggungjawabkan. Bukankah manusia akan merasa dirinya semakin bebas dan bahagia waktu dia mendapatkan dirinya mampu bertanggung jawab? Satu-satunya alasan bagi manusia untuk mesti mempertanggungjawabkan pilihannya adalah agar manusia mesti selalu belajar menjadi manusia sejati dan bersifat manusiawi serta bertindak secara manusiawi.

Hans-George Gadamer, filsuf kontemporer Jerman paling terkemuka setelah Habermas, selalu benar waktu dia bilang, “Kita mesti belajar untuk hidup bersama” (***)



Selesai membaca seluruh isi tulisan kukembalaikan majalah tua itu kepadanya.

“Papa dulu orang kudus ya?,” tanya putriku polos tapi menusuk tepat di jantungku.

Aku menggendong anakku dan masuk ke dalam rumahku langsung ke dapur di tempat istriku menghabiskan hari-harinya memasak makanan-makanan enak untukku. Memeluk kedua orang yang paling kucintai ini, aku berkata dengan air mata basah di seluruh wajah, “Aku tidak mau berdosa lagi!”









Jakarta, 18 September 2010

(Catatan: Buat seorang filsuf yang telah memutuskan untuk menjadi politikus di kursi yang bagus. Semua filsuf memang politikus, tetapi tidak semua filsuf  mau duduk di kursi yang bagus. Banyak filsuf memilih duduk di dinamit kegelisahan. Dan posisi terakhir sesungguhnya posisi sejati seorang filsuf. Thanks for makan enak dan gratis tadi malam…Maaf Pak, “Aku bukan manusia, aku ini dinamit, membuat orang gelisah itulah tugasku”, inipun bukan kata-kataku sendiri, tetapi ini kata-kata Nietzsche yang berikhtiar tentang ‘kehendak menuju kuasa’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar