Senin, 22 Agustus 2011

DIA, SAYA, DAN HAWA

DIA, SAYA, DAN HAWA


Mencintainya serasa seperti sedang berlatih untuk menghidupkannya. Cinta memang butuh pengorbanan. Kata-kata ini terdengar biasa namun aku harus mengakui kebenarannya. Aku mencintainya. Aku mau menghidupkannya. Pada mulanya dia hanya ada dalam hayalan. Aku bahkan tidak mengakrabinya dari dahulu kala. Aku hanya tahu bahwa ayah tidak pernah melakukannya dan ibu mungkin sekali-kali mencoba mencintainya tapi itupun hanya singkat-singkat saja dan hanya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran rumah tangga. Ayah sebenarnya bisa melakukannya namun aku tahu ayah terlalu letih untuk melakukannya. Ayah memang selalu mau bekerja setiap saat. Sepulang sekolah ayah akan langsung ke ladang mengurus tanamannya. Tapi ada satu hal yang aku bangga bahwa ayah selalu meluangkan waktu untuk membacakan cerita untuk saya. Ayah bercerita tentang ayah bundanya yang miskin papa tapi selalu berjuang menyekolahkannya ke sekolah guru di Ndao sana. Ayah juga biasa bercerita tentang nenek moyang kami yang bijaksana. Kalau ibu biasanya bercerita tentang nenek moyang saya dari pihaknya yang menjadi raja di wilayahnya. Beberapa hari lalu aku mendengar cerita temanku tentang pengkhiatan raja di wilayah ibu saya namun saya memahami ceritanya dari sisinya sebagai korban penyingkiran di suatu saat penguasaan raja-raja feodal di suatu masa dahulu kala. Saya tidak mau menghakimi raja dahulu dengan kacamata masa sekarang. Bukan kenapa-kenapa tapi memang saya tidak tega saja menafsirkan macam-macam sebab saya tidak mau nanti salah mengartikannya. Saya bilang saja kepadanya kalau dia memang berhak bersuara. Saya memilih untuk berdiam saja. Mungkin ini sikap kebanyakan orang di hadapan ketakadilan yang dibuat oleh kerabat atau keluarganya. Ah….saya terlalu banyak berkata-kata tentang masa lalu saya. Mungkin baik saya kembali kepada rasa cinta saya dengannya.
Pada akhir sekolah dasar, saya pernah diajak untuk mencintainya. Bahkan bapa gembala yang mengajak saya untuk mencintainya. Suatu saat bapa gembala bilang ke saya, “Engkau mesti belajar mencintainya sebab nanti engkau akan diwajibkan untuk mencintainya.”
Saya berusaha mencintainya dari masa akhir sekolah dasar namun saya belum tahu mesti dengan cara bagaimana saya mesti mencintainya. Saya mulai berhayal tentang mencintainya dalam potongan-potongan kecil kehidupan saya. Saya mencoba mencintainya dengan cara mencuri dari kepunyaan orang-orang. Saya hanya berusaha mencintainya dan saya tahu saya selalu gagal, tetapi mengapa setiap kali saya membawanya kepadanya, bapa gembala selalu mengatakan, “Lihat…engkau telah mencoba mencintainya dan kau melakukannya dengan baik adanya. Aku suka cara dan gaya kau mencintainya”.
Saya pulang ke rumah namun hati saya tidak pernah puas. Saya mau menghadap bapa gembala dan mengatakan kepadanya kalau apa yang saya pamerkan kepadanya adalah hasil curian. Hati saya mau melakukannya namun akal saya melarang dan membujuk saya untuk jangan mendengarkannya. Saya takut kalau-kalau bapa gembala akan mengutuk saya sebab mencuri itu dosa. Mencuri itu dosa. Itu salah satu perintah Allah yang aku sudah tidak tahu dimana letakknya dan perintah keberapa.
Bapa gembala selalu membanggakan saya hingga suatu saat dia mengirim saya ke tempat yang sama ketika dulu dia belajar. Ibu sebenarnya kurang menyetujuinya tapi ayah meyakinkanya, “Biarkan dia merasakan sedikit pengalaman di sana. Kalau mama tidak rela nanti kita merayunya sesudah dia SMA nanti ya…”. Ibu merelakan saya ke sekolah calon bapa dengan air matanya. Saya melihat air matanya namun sekali ini saya tidak mau menghiburnya sebab saya juga ingin sekali bersekolah di sana hanya karena melihat anak-anak yang bersekolah di sana biasanya diperlakukan istimewa kalau liburan di rumahnya. Saya bahagia melangkah ke sekolah. Ke sekolah calon bapa gembala.
Di sekolah menengah pertama yang saya impikan ini saya belajar hal-hal yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Bangun tidur jam 04.30. Mandi dan kemudian berdoa. Membaca Kitab Suci sejam sehari tentu saja suatu keharusan. Dan setelah berdoa saya melihat seorang calon bapa yang berjubah mendatangi saya dan mengatakan, “Engkau mesti mencintainya”. Saya terdiam dan kemudian memberanikan diri menatap wajahnya, melihat citra Allah di dahinya yang berkerutan, di hidungnya yang tenggelam tanpa syarat, di bibirnya yang tidak menunjukkan kemanisan. Mungkin juga dia sudah pas berada di tempatnya yang sekarang sebab dia mungkin sudah dijamin tidak akan didambakan seorang hawa bahkan hawa yang paling parah dalam jajaran para hawa. Hmmmm…aku tidak boleh menghinanya sebab dia yang telah menumbuhkan rasa cinta saya. Tetapi bukan cinta saya pada dirinya.
Keesokan harinya saya memutuskan untuk mencintainya. Saya sudah memutuskan untuk mencintainya dan tak seorangpun bisa menghalanginya. Jaminan untuk cinta kepadanya adalah ada bersamanya setiap saat. Saya bahkan tak mau kehilangannya. Bukankah cinta selalu berarti ada bersama?
Saya merayunya setiap saat. Hari-hari pertama saya merayunya dengan pelan-pelan saja. Kerap kali saya menulis puisi-puisi singkat yang tidak puitis buatnya. Atau saya menulis catatan-catatan singkat ringan lalu menempelkannya di dinding-dinding. Tetapi yang paling saya suka di saat-saat awal dalam perjuangan untuk mencintainya adalah saya berusaha melukisnya pada kertas-kertas surat romantis. Saya masih ingat nama-nama kertas surat itu, ada yang bernama Sweet Memories, ada yang Happy Always, ada yang Romance, ada yang Valentine. Saya sebenarnya bukan sedang menulis surat cinta. Saya hanya sedang melukis kekasih di atas kertas-kertas yang berkesan romantis. Kekasih memang layak untuk berada di situasi romantis.
Setahun sudah saya berusaha mengejar cintanya. Kini tahun kedua. Saya semakin berusaha merayunya. Saya suka caranya yang membuat saya penasaran. Di tahun kedua saya belajar bahasa cinta dan saya mau menghamburkan kata-katanya kepadanya. Saya menulis kata-kata indah kepadanya dengan bahasa cinta yang baru saya hafal, “Si vis amari, ama!” atau “Ubi charitas et amor Deus ibi est”, atau “Te Amo” atau “Amare parentes prima naturae lex” dan banyak lagi. Saya juga suka cara guru sastra mengajar dan saya mencuri gayanya untuk dipraktekan di hadapan kekasih yang lagi dalam pengejaran. Pernah suatu hari saya membaca puisi buatnya dan dia tersenyum saja. Mungkin dia mau mengatakan kalau saya mesti belajar lebih banyak sebelum mendapatkan cintanya. Dan kalaupun itu benar, itu sejalan dengan kemauan saya untuk selalu belajar mencintainya.
Pada akhir masa sekolah lanjutan pertama saya disuruh membuktikan cinta padanya. Maka saya mempersiapkan diri untuk mengatakan kepadanya kalau saya layak mendapatkan cintanya. Saya datangi seorang sahabat yang sudah ditelan kala dan saya menanyakan padanya bagaimana cara dia mencintai mantan kekasihnya yang sekarang ada dalam perburuan saya. Dia melihat saya tajam dan mengatakan, “Mencintainya hanya bisa dengan cara berusaha mencintainya. Tidak ada cara mencintainya dengan cara lain selain berusaha mencintainya”. Saya sebenarnya ingin menanyainya apakah mantan kekasihnya merindukan harta kekayaan atau kekuasaan. Saya juga ingin bertanya padanya apakah mantan kekasihnya mempertimbangkan ketampanan. Namun saya tidak punya waktu banyak untuk bertanya. Dia hilang tepat setengah detik setelah mengatakan syarat mencintai mantan kekasihnya. Maka sekarang yang ada pada saya hanyalah wasiat untuk selalu berjuang mencintainya.
Saya menjawab tantangan cinta darinya. Saya bilang kepadanya, “Aku tidak mempunyai apa-apa selain caraku mencintaimu”.
“Katakan kepadaku bagaimana engkau mencintaiku,”tantangnya.
“Aku hanya mau menulis puisi buatmu,”jawabku.
“Bacakan puisi itu buatku”
“Aku tidak mau membacanya. Aku mau engkau yang membacanya saja”
“Aku tidak mau membacanya. Maaf aku harus menolak caramu mencintaiku”
“Selamanya?”
“Biarkan kita memberikan kebebasan kepada kala untuk menjawabnya”
Aku masih berpeluang mendapatkan cintanya, mungkin di suatu waktu yang akan datang, demikian suara dalam batin saya yang masih penasaran.
Saya naik tingkat ke sekolah menengah atas di tempat yang sama dan saya juga selalu belajar mencintainya. Saya belajar mencintainya dari para pakar. Saya bisa menghabiskan banyak waktu di tempat yang memungkinkan bagi saya untuk belajar mencintainya.
Saya jalani tiap hari dengan usaha mencintainya. Mencintainya dengan tulus adalah ‘menjadi’ tiada henti. Saya berjuang mencari cara mencintainya dan sampai hari ini saya terus berjuang mencari cara mencintainya.
Dia bukanlah saya, dia bukanlah hawa apalagi adam. Dia hanyalah pilihan cara bagaimana saya mengada. Setiap saat bersamanya adalah kebahagiaan sebab setiap saat memesrainya saya sebenarnya sedang menghidupkannya. Saya jamin dia adalah istri sah saya.
Saya hanya berharap suatu saat kalau ada hawa yang mendampingi saya, dia tidak akan meninggalkan saya dan hawa saya juga siap berbagi suami dengannya. Mungkin ini gaya poligami yang disetujui.


Kelapa Gading, ketika bersama dengan mantan pacar calon pacar saya, 31 Juli 2010
(sambil mengenang motto KMK Ledalero)

Ciuman Kekasih

Ciuman Kekasih


“Kan aku sudah bilang kalau aku memang pernah mencium banyak wanita”, kataku untuk beberapa kali menjelaskan kepadanya tentang masa laluku.
“Tapi aku harus tahu kamu pernah ciuman sama siapa saja?” tuntutnya.
“Memang itu penting?”, tanyaku lagi.
“Iya penting…kamu kan pacar aku jadi aku harus tahu masa lalumu”, katanya lagi.
“Apa aku pernah meminta kau menjelaskan masa lalumu?”, tanyaku lagi.
“Kalau kau tanya pasti aku akan mengatakannya”, jawabnya langsung.
“Apa pentingnya sih kamu tahu aku pernah ciuman dengan siapa saja?”
“Supaya aku bisa menjagamu kalau-kalau nanti bertemu dengan wanita yang pernah berciuman denganmu”
“Memangnya engkau pikir aku akan mencium lagi wanita yang pernah aku cium?”
“Tidak!”
“Terus?”
“Aku hanya takut mereka yang akan lebih dahulu mendekat dan menciummu”
“Memangnya kau pikir wanita-wanita yang kucium itu wanita-wanita binal”
“Tidak juga”
“Terus mengapa kau berpikir begitu?”
“Wanita akan mengingat pria yang menciumnya daripada pria yang menidurinya”
“Ah…”
“Iya, karena ciumanmu adalah ciuman yang memabukkan”
“Mungkin mulutku sumber arak segala arak”
“Bukan. Mulut dan bibirmu itu sumber kehangatan yang selalu didambakan”
“Agh….kita omong topik yang lain saja”
“Tidak. Aku mau tanya siapa-siapa wanita yang pernah mendapat kehangatan?”
“Kehangatan apa? Jangan sembarang!”
“Kehangatan dari bibir dan tangan. Ayo katakan berapa wanita yang pernah kau cium dan kau jamah dadanya?”,
“Aku sudah lupa berapa”
“Kurang ajar! Karena terlalu banyak?”
“Iya”
“Katakan kepadaku beberapa yang kau ingat! Siapa-siapa saja mereka?”
“Wanita yang terakhir yang kucium adalah temanmu, Santi”
“Haaaa…kapan?”
“Kemarin sore setelah kau pulang ke kostmu dan dia datang ke kostku”
“Pantas engkau tidak mencium bibirku kemarin! Rupanya engkau sedang mempersiapkan bibirmu untuk bibirnya. Kurang ajar kalian”
“Kami tidak bersalah. Kami hanya mengikuti perintah dari dalam. Awalnya kami berbicara berdua tentang banyak hal, bahkan kami sempat berbicara tentang betapa cocoknya kita berdua”
“Terus bagaimana kalian bisa akhirnya berciuman?”

“Dia menceritakan kekasihnya dan aku berusaha mendengarkannya. Dia mengatakan kekasihnya sudah lama tidak menelponnya. Dia mengatakan dia kesepian dan sejurus kemudian bibirnya berada di pucuk di bibirku”
“Apa?”
“Aku pikir engkau pernah mengalami situasi yang sama. Iya kan?”
“Tidak. Aku hanya bisa berciuman dengan kekasih resmiku”
“Kau wanita yang sempurna”
“Tidak juga. Tak ada manusia yang sempurna”
“Kalau begitu mengapa kau mau menelanjangiku?”
“Bukan mau menelanjangimu, tetapi aku mau tahu lebih banyak tentang dirimu”
“Apa maumu?”

“Supaya aku tahu kamu memang layak untuk diriku”
“Kamu tidak mau menerima masa laluku dan mengampuninya?”

“Bukan begitu! Bukankah kesalahan mesti diketahui terlebih dahulu sebelum kita mau mengampuni atau memaafkan?”
“Benar tapi aku pikir kurang baik kita membicarakan hal ini kini dan di sini. Ada saatnya yang sudah kutentukan”

“Kapan saat itu datang”
“Ketika aku sudah mempunyai keberanian untuk mengatakan”
“Aku memberikan keberanian bagimu sekarang”

“Ini soal keberanian diriku bukan keberanian dirimu atau keberanian kita atau keberanian dari dirimu bagi diriku. Aku harap kau bisa memahaminya”
“Aku bisa memahaminya”
“Terima kasih”
“Kembali kasih”
“Kau cantik sayang…”
“Kau suka?”

“Iya,” singkatku.
“Nikmati saja…”
“Terima kasih, tapi aku belum mau menikmatinya”
“Kamu pasif saja dan aku yang akan beraksi ya…”
“Tidak!”
“Kamu kenapa?”

“Aku tahu kamu mau mengatakan sesuatu”
“Jangan sok tahu!!!”

“Kamu memang begitu. Awalnya kamu menguasaiku terus kamu menanyakan sesuatu padaku atau mau mengatakan sesuatu. Aku mengenalmu lebih baik daripada dirimu mengenalmu”
“Sok tahu ah…”

“Kan kau selalu begitu…haha”
“Karena aku mencintaimu”
“Tapi bukan karena engkau mau menguasaiku kan?”

“Bukan sayang. Bukan aku mau menguasaimu, tetapi aku mau kau menguasaiku”
“Aku tidak pernah mau belajar untuk menguasaimu”
“Tetapi aku mau aman dalam kuasamu”
“Aku sendiri tidak menguasai diriku”
“Cium aku maka mungkin engkau bisa menguasaiku”
“Aku hanya menikmati ciuman yang membagi bukan yang bermaksud menguasai”
“Nah, itu yang menyebabkan kau bisa menguasai banyak gadis sebab gadis-gadis tak butuh dominasi seorang lelaki. Mereka butuh ciuman yang membuat mereka merasa dihargai bukan dikuasai”
“Terus mengapa kau meminta ciuman supaya aku dapat menguasai dirimu?”
“Karena waktu aku merasa aman dengan ciumanmu aku akan memberikan semuanya kepadamu. Kuasai aku dengan ciumanmu biarkan aku aman dalam dekapanmu”
“Aku bahkan tidak mempunyai dada yang mantap untuk menaruh wajahmu yang memukau itu”
“Bukan seberapa lebar dadamu tetapi seberapa tulus cintamu. Kuasai aku, ayo kuasai aku”
“Tetapi aku tidak tahu bagimana cara menguasaimu”
“Cium aku dan berilah aku kebebasan seperti kebebasanmu, maka engkau dapat menguasaiku”
“Aku akan membebaskanmu dengan ciumanku”. Aku mendekati dirinya dan mengecup keningnya, menolak ajakannya untuk menggigit bibirnya, “Aku belum mau ke situ”, kataku menarik bibirku dari bibirnya.
“Pantas adikku bilang ciumanmu adalah ciuman yang memabukkan dan yang membuat penasaran. Engkau berhenti pas pada saat wanita masih mau menikmatinya”
“Ah…”, tersenyum aku memandangnya.
“Engkau bahkan tidak perlu mengatakan masa lalumu lagi. Aku mau menceritakan masa laluku ketika sekarang kau berikan keberanian bagiku. Engkau akan tahu bahwa aku juga pernah berciuman denganmu”
“Aku tidak mengingat itu”
“Kau memang penakluk sejati, namun aku sudah memutuskan untuk mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu sebab aku bebas dan aman bersamamu”


Biara Susteran FSGM, Kampung Ambon, Jakarta, 05 Agustus 2010

Cleopatra

Cleopatra

“Aku harus pulang ke rumahku,” katanya ketika bangun dari ranjang tempat mereka bersebadan.
“Apakah ini berarti engkau akan meninggalkanku?”, Tanya kekasihnya ingin tahu.
“Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku hanya mau sendiri dulu”
“Tidakkah engkau bahagia denganku?”
“Aku bahagia denganmu namun hatiku selalu mengingatnya”
“Engkau mau aku menghapusnya?”
“Bagaimana caranya?”
“Aku mau menghamilimu dan kita akan mempunyai anak dan kita akan saling mencintai karena kita sudah mempunyai anak”
“Itu bukan jalan yang bijak”
“O iya…?”
“Karena aku bersebadan denganmu namun aku membayangkan rupanya”
“Benarkah?”
“Ya…”
“Engkau sangat mencintainya?”
“Aku tidak terlalu mencintainya namun aku selalu membayangkannya”
“Karena ukurannya lebih besar dari pada ukuranku?”
“Sssssttt… Jangan ngawur kamu!!!”
“Benarkan??? Bukankah kau sudah tidur dengan beberapa lelaki dan karena itu engkau bisa membandingkan antara laki-laki yang satu dengan lelaki yang lain”
“Engkau menyesal karena tidur denganku?”
“Tidak!”
“Terus?”
“Karena bagiku itu bukan hanya pelepasan dorongan shyawat. Bagiku itu pengalaman yang mendalam ketika dua badan saling menadah dengan ekspresi paling asli dari kedalaman diri. Bagiku itu tanda paling mendasar dari pernyataan engkau adalah istriku dan aku adalah suamimu”
“Betulkah itu adalah pengalaman pertamamu?”
“Ya. Engkau telah mendapatkan yang pertamaku”
“Aku mencintaimu”
“Dalam nafsu?”
“Aku mencintaimu. Aku merindukan ciuman dan pelukanmu, namun aku butuh waktu”
“Pulanglah kalau begitu!”
“Engkau mengusirku?”
“Kan engkau mau pulang ke rumahmu”
“Iya… karena suamiku menantiku”
“Sungguh dia suami yang baik”
“Masa?”
“Karena dia mengizinkan istrinya tidur dengan laki-laki lain”
“Karena aku juga mengizinkannya berlaku begitu”
“O… Jadi ini adalah pembalasan dendam terhadapnya?”
“Bukan!”
“Terus?”
“Karena aku mencintaimu”
“Untuk melayani nafsumu?”
“Kau yang selalu berpikiran begitu!!!”
“Karena nyatanya sekarang engkau mau meninggalkanku!”
“Bukan meninggalkanmu, tetapi aku mau sendiri dulu”
“Terus kalau aku merindukanmu dan pingin bersetubuh denganmu?”
“Engkau bisa menelponku”
“Dan engkau akan datang kapan saja?”
“Iya…”
“Bagaimana dengan suamimu?”
“Dia juga akan melakukan hal yang sama dengan kekasih-kekasihnya”
 “Kau seperti Cleopatra, sayang”
“Kenapa?”
“Bisa tidur dengan siapa saja… hahah…”
“Jangan buat aku merasa tersayat! Wanita mana yang mau dikatakan penghibur belaka. Wanita selalu ingin menjadi kekasih. Bahkan menjadi kekasih beberapa lelaki ”
“Dan engkau bisa menguasai lelaki yang kau tiduri”
“Iya… untuk mendapatkan indahnya permainan”
“Hahaa…Kau memang dahsyat!”
“Apa?”
“Tidak… aku hanya mencoba bercanda saja”
“Penghancuran kebijaksanaan seorang lelaki harus selalu mulai dari pangkal pahanya…hahaha, benarkan? Jujur saja la…”
“Kau tahu kuncinya sayang…Dan engkau sudah menumbangkan berapa?”
“Belasan”
“Ha?”
Ha?





Jakarta, 25 Juli 2010

Mantan Orang Kudus

Mantan Orang Kudus



Aku baru saja pulang dari senayan. Kami rapat semalaman. Setelah rapat kami ke hotel di dekatnya dan merayakan apa yang biasa kami rayakan: makan enak sepuasnya, minum anggur sebanyak-banyaknya, mabuk dan mulai mencari pasangan untuk meledakkan dinamit asmara, lebih tepatnya nafsu shyawat.

Pagi harinya aku bangun di atas rajang hotel bintang lima namun pasanganku sudah tiada, mungkin sudah pulang ke markasnya. Dan satu hal yang pasti: isi dompetku pasti berkurang setengahnya.

Aku pulang ke rumah. Putri, putri pertamaku, duduk manis depan teras sedang membaca. Itulah kebiasaan baiknya yang turun dari kebiasaanku. Dan hari ini dia membaca sebuah majalah tua. AKADEMIKA namanya, tepat di halaman terakhir pada sebuah rubrik yang diberi nama BOX.

Aku melihat tulisan itu. Itu tulisanku waktu masih di kampus dulu. Kuambil majalah itu dari tangannya dan mulai kubaca:







TIGA KEHENDAK, DUA GAYA, SATU KOMITMEN

(Bukit Sandar Matahari, sehari setelah merayakan hari HAM, 11 Desember)



Kehendak adalah sesuatu yang mendorong manusia untuk menentukan apa yang mesti dia pikirkan, apa yang bisa dia lakukan dan apa yang boleh ia harapkan. Kehendak manusia sangat beraneka ragam. Ada kehendak untuk mencintai, ada kehendak untuk membenci, ada kehendak untuk mendukung atau menghalangi, ada kehendak untuk mengatakan kebenaran atau menyangkali kebenaran. Berbagai contoh lain dapat disebutkan di sini. Tujuan akhir dari semua daya kehendak manusia tidak lain dan tidak bukan adalah kebahagiaan. Setiap dorongan kehendak manusia berarak menuju kebahagiaan manusia. Kita mencintai karena kita yakin bahwa kita akan berbahagia. Kita membiayai anak dan adik kita karena kita ingin kita dan dia berbahagia. Kehendak baik selalu mulia dan membawa kebahagiaan.

Begitu juga dengan kehendak buruk seperti mencuri atau membunuh. Pada waktu seseorang mencuri atau membunuh tujuan akhirnya tentu saja ia ingin menggapai kebahagiaan. Misalnya seorang yang mencuri mengimpikan kebahagiaan yang akan ia raup dari hasil curiannya itu. Seseorang membunuh karena ia ingin yang terbunuh itu mesti mati agar ia bisa hidup tenang dan bahagia.

Dalam relasinya dengan orang lain, manusia selalu mengarahkan kehendaknya. Ada tiga kelompok besar dari kehendak manusia. Pertama, ada kehendak untuk kenikmatan (will to pleasure). Dalam kehendak model ini, manusia melihat semua hal di sekitarnya sebagai objek untuk dinikmati. Alam adalah objek untuk dinikmati, manusia lain adalah juga tujuan penikmatan hidup. Kedua, kehendak untuk berkuasa (will to power). Dalam potret ini, manusia melihat dirinya sebagai penguasa atas alam dan manusia lainnya. Ketiga, kehendak untuk bermakna (will to meaning). Dalam kerangka ini, kehendak diarahkan kepada sesuatu yang baik yang menghantar manusia berbahagia karena ia mampu mempertanggungjawabkan kehidupannya sebagai pribadi yang bermakna dalam nilai-nilai kreatifitasnya, nilai-nilai pengalamannya, dan nilai-nilai bersikapnya. Kehendak untuk bermakna akhirnya juga berarti kehendak untuk mencintai (will to love).

Pemilihan gaya dalam pengarahan kehendak itu ditentukan oleh cara manusia melihat dirinya dan sesama dan alam. Ada dua cara dan gaya. Pertama, gaya menjadi serigala bagi sesama (homo homini lupus). Dalam gaya ini, manusia melihat dirinya dan sesamanya sebagai serigala yang mesti saling berperang agar bisa lebih berkuasa. Dalam gaya ini orang-orang merayakan konflik dan memuja kekuatan, kenikmatan dan kekuasaan. Orang-orang menjadi sadistis sekaligus masokis. Kedua, gaya menjadi sahabat satu sama lain (homo homini socius). Dalam gaya yang kedua ini, kita melihat sesama dan alam sebagai sahabat yang saling melengkapi satu sama lain. Kehadiran sesama dan alam menuntut tanggung jawab dari pihak kita.

 Hidup ini sebuah pilihan. Manusia mesti memilih dan pilihan manusia mesti dapat dipertanggungjawabkan. Bukankah manusia akan merasa dirinya semakin bebas dan bahagia waktu dia mendapatkan dirinya mampu bertanggung jawab? Satu-satunya alasan bagi manusia untuk mesti mempertanggungjawabkan pilihannya adalah agar manusia mesti selalu belajar menjadi manusia sejati dan bersifat manusiawi serta bertindak secara manusiawi.

Hans-George Gadamer, filsuf kontemporer Jerman paling terkemuka setelah Habermas, selalu benar waktu dia bilang, “Kita mesti belajar untuk hidup bersama” (***)



Selesai membaca seluruh isi tulisan kukembalaikan majalah tua itu kepadanya.

“Papa dulu orang kudus ya?,” tanya putriku polos tapi menusuk tepat di jantungku.

Aku menggendong anakku dan masuk ke dalam rumahku langsung ke dapur di tempat istriku menghabiskan hari-harinya memasak makanan-makanan enak untukku. Memeluk kedua orang yang paling kucintai ini, aku berkata dengan air mata basah di seluruh wajah, “Aku tidak mau berdosa lagi!”









Jakarta, 18 September 2010

(Catatan: Buat seorang filsuf yang telah memutuskan untuk menjadi politikus di kursi yang bagus. Semua filsuf memang politikus, tetapi tidak semua filsuf  mau duduk di kursi yang bagus. Banyak filsuf memilih duduk di dinamit kegelisahan. Dan posisi terakhir sesungguhnya posisi sejati seorang filsuf. Thanks for makan enak dan gratis tadi malam…Maaf Pak, “Aku bukan manusia, aku ini dinamit, membuat orang gelisah itulah tugasku”, inipun bukan kata-kataku sendiri, tetapi ini kata-kata Nietzsche yang berikhtiar tentang ‘kehendak menuju kuasa’)

TRANSEAMUS>>>

TRANSEAMUS>>>

“Kenapa kau datang lagi padaku sekarang?”
“Aku hanya mau mengunjungimu saja”
“Aku belum mau dikunjungi”
“Kau marah padaku?”
“Tidak”
“Kau dendam padaku?”
“Tidak”
“Kau masih mau melihat diriku?”
“Iya, tetapi bukan sekarang”
“Terus, kapan?”
“Mungkin suatu saat”
“Saat itu kapan? Besok? Lusa? Minggu depan?”
“Aku belum mau berbicara sekarang”
“Tetapi aku mau berbicara denganmu?”
“Oke, bicaralah, setelah itu engkau mesti segera pulang ke rumahmu”
“Engkau mengusirku?”
“Tidak”
“Terus kenapa kau berkata begitu?”
“Karena kau bukan wanita biasa. Kau istri orang. Ingat itu, kau istri orang”
“Kalau aku telanjang di depanmu, apakah kau masih berpikir aku istri orang?”
“Hanya kucing lapar yang bodoh yang mau menolak santapan daging enak”
“Meskipun daging itu daging sisaan?”
“Bahkan daging busukpun jadi santapan lezat untuk seekor kucing yang lapar”
“Dan kau menjadikan dirimu sebagai kucing yang lapar?”
“Bahkan di saat yang bersamaan kau mendefenisikan dirimu sebagai daging yang tersaji”
“Hahaha... kau pintar dan aku suka...haha”
“Kenapa kau tertawa?”
“Karena aku bahagia?”
“Apa yang buat kau bahagia? Aku merasa tidak ada hal yang bisa buat kau bahagia”
“Kau tidak tahu kalau apa yang barusan kau buat telah membuatku bahagia”
“Apanya?”
“Kau selalu membuat setiap permainan sebagai cerita”
“Dan engkau menikmati cerita-ceritanya?”
“Ya, aku menikmatinya”
“Tanpa kepalsuan di dalamnya?”
“Ya iya tanpa kepalsuan la... Kau tahu kan kalau banyak wanita menyukai kenangan?”
“Aku tidak tahu banyak tentang itu”
“Makanya pertahankan cara-caramu menciptakan kenangan-kenangan”
“Maksudnya?”
“Seperti yang biasa kau lakukan”
“Apanya?”
“Membuat sesuatu yang tak terlupakan”
“Misalnya?”
“Kau bego sekali ya...”
“Iya, karena aku tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan kenangan”
“Kau ingat waktu pertama aku ke sini?”
“Kapan ya?”
“Aku tahu kau sengaja melupakannya”
“Benar. Aku sudah melupakannya dengan sempurna”
“Baiklah mungkin aku bukan ditakdirkan untuk menjadi kekasihmu”
“Aku juga merasa begitu waktu engkau mengatakan kepadaku bahwa engkau selalu mengingat wajahnya waktu kita sedang bersebadan”
“Tetapi sekarang terjadi sebaliknya”
“Maksudnya?”
“Aku selalu membayangkan wajahmu waktu diriku seranjang dengan badannya”
“Terus sekarang mau bagaimana?”
“Biarkan aku semalam saja bersamamu”
“Ha?”
“Mungkin ini suatu cara untuk menjadi istrinya yang sesungguhnya”
“Terus aku bagaimana?”
“Kau akan menjadi sahabat kami selamanya”
“Yang nanti suatu saat kalau kau butuh kau bisa menghubungiku?”
“Kau tidak keberatan kan?”
“Jangan jadikan ragaku terminal shyawatmu!!!”
“Untuk malam ini saja ya, please...”
“Sorry”
“Apakah aku tidak boleh menggodamu lagi?”
“Maaf, aku terlanjur melihatmu sebagai sejarah”
“Dan engkau tidak mau mengulangi sejarah kita bersama?”
“Walaupun itu sejarah yang salah?”
“Jangan pikir panjang-panjang ya...Anggap saja kau kucing kelaparan dan aku daging yang siap dimakan, mau kan?”
“Tetapi aku sekarang tidak sedang kelaparan”
“Apakah kau mendapat makanan secukupnya?”
“Tidak juga”
“Terus?”
“Aku hanya tidak mau saja”
“Apakah aku sudah tidak secantik seperti dulu lagi?”
“Kau bahkan lebih cantik sekarang”
“Benar, karena aku barusan dari rumah kecantikan. Terus, kenapa kau tidak mau menikmati kecantikanku?” “Karena aku tahu bahwa dalam cantikmu selalu ada luka dan jarum. Luka itu lukamu dan jarum itu yang akan melukaiku. Aku tidak mau terluka oleh jarum yang sama”
“Kenapa dari dulu engkau tidak pernah bilang kepadaku kalau dalam cantikku ternyata ada jarum yang dapat melukaimu?”
“Karena waktu itu aku tidak mau terlalu ambil pusing dengan kehadiran jarum itu. Waktu itu kita mencurahkan seluruh perhatian kita untuk menyembuhkan lukamu”
“Dan aku tahu waktu itu kau baik sekali kepadaku”
“Dan waktu itu juga cantikmu sedang menusukku dengan jarummu. Tepat di hatiku”
“Dan kau tidak merasa sakit?”
“Sakit. Sakit sekali”
“Mengapa kau tidak berteriak?”
“Karena aku percaya padamu”
“Percaya?”
“Percaya dengan kata-katamu waktu kau bilang ingin menjadikanku yang terakhir buatmu”
“Kau marah padaku?”
“Tidak”
“Kau mau memaafkanku?”
“Sudah sedari dulu”
“Dari dulu engkau memaafkanku?”
“Iya... waktu kau meminta diriku untuk menerima dirimu sebagai yang tidak utuh. Waktu itu kata-katamu, ‘Apakah kau mau menerimaku apa adanya?’ dan kata-kataku, ‘aku menerima dirimu’. Kau ingat saat itu?”
“Aku mengingatnya karena itu kenangan bagiku”
“Kenangan?”
“Karena kau pria pertama yang mampu membangkitkan semangat percaya diriku setelah masa-masa kehancuranku”
“Lupakan itu!!!”
“Semakin aku memaksa untuk melupakannya semakin aku mengingatnya”
“Coba bayangkan perasaan suamimu kalau dia tahu kau sedang berada di tempatku”
“Aku butuh kau untuk menghapus bekasmu dari hatiku”
“Dengan cara tidur denganku?”
“Mungkin itu suatu cara untuk merayakan perpisahan asmara selamanya”
“Dan kau tidak akan minta lagi di waktu-waktu mendatang?”
“Aku tidak bisa menjaminnya sayang... Ini soal rasa”
“Soal rasa atau soal hasrat untuk bershyawat? Jangan-jangan kau tipe orang yang tidak puas sebagai satu pasang saja?”
“Kalau benar kenapa? Kau merasa jijik padaku kalau begitu? Bukankah kau pernah bilang setuju pada Einstein di kamarmu waktu dia bilang, ‘perkawinan adalah usaha untuk mengabadikan suatu yang ternyata kebetulan belaka’”
“Trus, kenapa kau mau menikah untuk melegalkan perkawinanmu?”
“Kau mau orang tuaku membunuhku karena tahu aku hamil tanpa suami?” “Jadi pernikahanmu itu hanya karena alasan itu?”
“Itu bukan informasi penting bagimu kan?” “Aku hanya mau bilang kecewa saja”
“Jangan mengasihaniku!!!”
“Kalau begitu pulanglah ke rumah suamimu, karena aku tidak mau mengasihani dirimu”
“Kau mungkin terlalu kudus bagiku, tetapi aku melihat kemunafikan dalam dirimu”
“Aku juga sadar kalau aku mungkin munafik”
“Munafik kau!!!...”
“Mungkin kita mesti dicap ‘munafik’ waktu kita berikthiar untuk berubah”
“Buktikan perubahanmu kepada diriku”
“Aku tidak membutuhkan dirimu. Aku hanya mau berubah karena diriku sendiri, bukan karena dirimu”
“Dan aku akan selalu memperhatikan perubahanmu”
“Aku minta dukunganmu”
“Untuk menggodai dirimu?”
“Bukan”
“Terus?”
“Untuk berdoa bagiku supaya aku kuat menahan godaan”
“Aku bahkan sudah lama tidak pernah berdoa. Mungkin Tuhan sudah tidak mengenalku lagi”
“Hati yang remuk redam tak ‘kan Dia tolak” “Kau barusan mendaraskan satu mazmur yang pernah kuhafal”
“Hafal?” “Iya, kenapa?”
“Bisakah kita berubah bersama? Mungkin sulit untuk memulai dari awal tetapi hal itu tidak mustahil kan?”
“Aku malu memulainya. Aku takut dikata: munafik!”
“Jangan siksa dirimu dengan pikiranmu sendiri”
“Aku mau menangis. Sungguh...”
“Menangislah”
“Tetapi aku membutuhkan sebidang dada untuk menyandarkan kepala”
“Pulanglah dan tangisilah di dada pria yang telah setia mendampingimu”
“Dan kau tidak akan melihat hina diriku atau menganggapku munafik?”
“Iya, karena aku juga bukan orang yang hidup tanpa dosa”


Jakarta, 08 Oktober 2010

POCE (Bingkisan ULTAH buat Pater Budi Kleden, SVD)

Cerpen:
(Bingkisan ULTAH buat Pater Budi Kleden, SVD)

Poce
Oleh : Gusti Tetiro

Dia barusan keluar dari kamarnya ketika kami menjemputnya untuk sebuah kuliah eskatologi yang kami nanti-nantikan. Dia adalah dosen terbaik yang kami miliki. Setiap kuliah pilihannya adalah sesuatu yang wajib bagi kami, karena kami selalu memilih tawaran kuliahnya dan pilihan kami bebas dan kami bahagia kalau bisa hadir di kelasnya. Menanti kehadirannya di ruang kuliah adalah kerinduan bagi kami dan bertemu langsung serta berdiskusi dengannya adalah kebahagiaan bagi kami.
“Maaf... Saya baru datang dari Detusoko”, jawabannya dengan senyuman kepada kami sambil berlangkah cepat di lorong biaranya. Dia selalu menjawab atau berkomentar dengan singkat dan tidak mau membangga-banggakan diri. Kami semua tahu bahwa beliau barusan datang dari Detusoko setelah seminar penolakan tambang dengan para imam Keuskupan Agung Ende. Dia tidak pernah mengatakan kalau dia kemarin jadi keynote speaker untuk acara seminar tersebut. Dia malah bercerita tentang dinginnya udara Detusoko dan segarnya buah-buahan di Pasar Ndu’aria.
Itulah dosen eskatologi yang kami bangga-banggakan dengan sepenuh hati kami. Dia orang biasa tetapi dia mempunyai akal budi dan kepribadian yang luar biasa. Dia orang biasa dan kami juga mengetahui kalau dia orang biasa yang mempunyai dua mata yang sudah dibantu dengan kacamata, kulit hitam khas Flores Timur, dan mempunyai anggota-anggota badan lain yang sama seperti kami. Akan tetapi, kami juga tahu kalau dia orang luar biasa: otaknya luar biasa, kepribadiannya luar biasa, dan kerendahan hatinya luar biasa. Luar biasanya adalah keistimewahan dalam kualitas. Dia dikenal oleh orang-orang pintar senegara tetapi dia tetap bertegur sapa dan bermain seperti biasa dengan kami yang biasa-biasanya saja. Biasanya dia bermain takraw di sore hari untuk mendekatkan dirinya dengan para konfrater mudanya.

***

“Engko mau jadi apa No kalau su tamat dari SD nanti?”, tanya uskup suatu ketika dalam pertemuan dengan anak-anak di sebuah paroki pinggiran kota Larantuka. Uskup itu pamannya sendiri.
“Kita  mo jadi macam Om Tuan saja le...”, jawabnya singkat.
“Engko mau jadi pater ko? Engko mau masuk seminari ka?”, tanya Bapa Uskup itu  lagi.
“Mau ka kalau nanti tamat jo kita daftar, testing seminari Hokeng...Om Tuan doakan kita supaya bisa lulus e Om Tuan...”, jawabnya polos dan nakal sebagai anak kecil.
Terdapatlah dalam pikirannya untuk menjadi seorang imam SVD yang baik. Setiap hari dia sempatkan diri mengikuti misa pagi di gerejanya yang di pinggir pantai itu. Setiap hari dia belajar berdoa. Setiap kesempatan kalau bisa dipakainya untuk berdoa, dia akan berdoa. Dia merasa bersalah dan takut kalau dia tidak berdoa atau misa. Dia takut bukan pada siapa-siapa. Dia malu dan takut pada Tuhan yang “matanya sebesar alat penampih beras dan telinganya selebar tutpan dandang 15 kilo gram beras”, kata-kata guru agamanya mengiang di hatinya.
Setiap hari dia juga biasakan dirinya untuk menjadi misdinar di parokinya. Rutinitasnya yang ini dilakukannya dengan senang hati karena setiap kali selesai misa dan menjalankan tugas sebagai misdinar biasanya mereka diberi makan enak oleh misionaris yang asal Eropa itu. Hari ini mereka dapat ice- cream, kemarin mereka dapat roti mentega. Biasanya setiap hari mereka akan menyantap makanan-makanan yang hanya ada di Eropa dan tidak ada di Flores: susu Swiss, sossis, dan lain-lain. Pater Misionaris itu sangat menyayangi dan memanjakkan mereka. Dia bercerita tentang Eropa, terutama Jerman, yang indah dan maju. Dan Modern.
“Jerman itu modern. Kota-kotanya indah. Di tengah-tengah kota selalu ada Katedral, jadi anak-anak macam kalian bisa berdoa kapan saja di katedral. Anak-anak di sana bahagia kalau bisa jadi misdinar,” cerita misionaris itu penuh semangat.
“Tuan, di sana anak-anak biasa mandi di laut macam kita ka tidak?”, tanya seorang anak ingin tahu.
“Di sana anak-anak mandi di kolam renang yang modern. Di pinggir kolam ada orang yang su siap roti mentega dan jus jeruk. Jadi kalau mereka habis mandi mereka duduk di pinggir kolam sambil makan roti mentega dan minum jus ka”, jelas pastor yang sekaligus antropolog itu.
“Kalau begitu kita ju mau ke sana le...”, celetuk Poce langsung setelah itu.
“Engko mau ke sana ka?”, tanya pastor itu langsung kepada Poce.
“Iya ka tuan... di sana enak juga, kita mau ka...”, jawabnya polos lagi-lagi, “tapi begena maka kita bisa ke sana? Kita ter ada uang le..”
“Kalau engko mau bisa ka... Engko jadi tuan macam engko pu om Tuan to bisa ke Roma, Jerman, Amerika suka-suka...Engko mau ka? Ayo... biar kita urus engko masuk Hokeng ka”, undang misionaris itu.
“Kita mau le tapi kita mesti tanya bapak mama dulu le...”
“Itu ma gampang ka.... kita baru bicara dengan engko pu bapak ju bae e No...asal engko mau sa...”
Hari-hari selanjutnya kata “Jadi Tuan dan pergi ke Eropa” adalah semacam sesuatu yang selalu ada di pikirannya. Di rumah, mereka mempunyai kebiasaan doa lima waktu sebagai orang katolik. Dimulai dengan Ibadat Bacaan jam 3 pagi, laudes jam 5 pagi, ibadat jam 12 siang sekaligus dengan doa angelus, vesper jam 6 sore dan ibadat penutup sebagai completorium jam 9 malam.
Ayahnya seorang guru sekolah dasar, anggota DPP urusan liturgia. Setiap hari anak-anaknya dididik sebagaimana dulu dia dididik oleh para misionaris Eropa di kota Reinha Rosari Larantuka. Ada waktu berdoa, ada waktu untuk belajar, ada waktu untuk bermain secara kreatif. Keluarga besar mereka memang terkenal di kotanya sebagai keluarga yang pintar dan bijaksana. Banyak anggota keluarganya jadi orang penting dan dikenal baik. Ini suatu pencapaian istimewa sebab jarang sekali orang-orang penting yang sekaligus jadi orang baik.
“Bapak dengar dari tuan di Gereja kalau Poce mau jadi pater ka?”, tanya bapaknya ketika mereka makan malam bersama di rumah.
“Iya bapak...”, jawab Poce sopan.
“Kalau mau jadi pater mesti rajin berdoa dan belajar No... di Hokeng sana tidak ada anak yang dapat 7. Mereka semua mesti dapat 8, kalau dapat 7 mereka keluar. Poce bisa ka?”
“Iya bapak. Kita pasti tekun di sana”
“Engkau mesti rajin belajar bahasa Latin No... Di sana tuan-tuan bicara bahasa Latin dan baca buku-buku bahasa latin No...”
“Kita ti tau apa-apa le...”
“Engko bisa kalau mau belajar.  Makanya mulai sekarang jangan terlalu mandi air laut ka, urus belajar juga,” nasihat bapaknya untuk kesekian kalinya supaya Poce jangan terlalu mandi laut, “nanti kau capek malam-malam dan tidak bisa belajar”.
“Jangan terlalu mandi laut ju awas No pu telinga terganggu,”  tambah ibunya yang sedari tadi hanya mendengar pembicaraan ayah-anak itu.
Poce hanya tersenyum mendengar ibunya. Poce tersenyum karena Poce tahu ibunya selalu cemas jangan-jagan anak laki-lakinya tenggelam sebab dua minggu lalu ada satu orang Solor yang tenggelam di laut yang sama.
Setelah tamat dari SD, pastor parokinya mendatangi rumah keluarga katolik yang saleh ini dan menyampaikan kalau Poce lulus testing dan mesti siap-siap masuk seminari Hokeng. Keluarga ini menyiapakan anak laki-lakinya dengan keperluan sebagaimana yang diminta oleh seminari. Ada buku-buku doa seperti Bapa Kami, Madah Bakti, Tuhanlah Gembalaku. Ada Rosario dan buku-buku novena dan adorasi Sakramen Mahakudus. Ada tikar yang ayahnya beli dari seorang Roga, suku Lio, penjual tikar. Ada peti pakaian yang warisan Om tuannya. Dan hal-hal lain yang diperlukan oleh seorang seminaris.
Satu jenis makanan yang paling penting bagi Poce tentu saja jagung titi yang kalau setiap kali makan dia akan mengenang rumah dan seisi rumahnya. Maka pada saat itulah air matanya mengalir mengingat ibunya yang selalu memanjakannya, mengingatkan dia akan tata Oa yang baik dan ade-ade yang lucu di rumahnya. Jagung titi juga akan mengingatkan pada “Cahaya Harapan”, perahu yang selalu dipakainya untuk bermain-main dengan temannya di laut. Dia mengingat teman-teman mainnya di kampung. Ingin hatinya mau pulang ke rumah dan bermain dengan teman-temannya tetapi seminari Hokeng terlalu enak untuk dilepas karena ingatannya akan “Jadi Tuan dan Pergi ke Eropa”. Tidak ada jalan lain untuk seorang anak remaja awal Flores waktu itu untuk mencapai impiannya melihat Eropa kalau bukan menjadi pastor misionaris.
Di Hokeng dia resmi menjadi seorang seminaris. Hari-harinya dilalui sebagaimana seorang seminaris yang tentu saja hampir sama dengan yang biasa dilaluinya di rumahnya. Hanya di sini dia mulai mengenal bahwa ada 5S untuk seminaris. Dia mendidik dirinya dalam bidang sapientia, scientia, sanitas, santitas, dan sosialitas.
Dia disukai teman-temannya karena dia biasa membantu mereka setiap kali mereka membutuhkan penjelasan yang lebih baik tentang mata pelajaran berhitung atau bahasa Latin. Bahasa Latin dipelajarinya dengan sungguh-sungguh. Dia menyukai bahasa kuno itu karena keindahan bunyinya dan aturan-aturan tata bahasanya yang mengajak akal untuk berpikir kreatif dan disiplin. Dia menghafal banyak sekali proverbiae dan adagium bahasa Latin seperti “Si vis amari, ama!”, “Amare parentes prima naturae lex”, “Dum spiro, spero”. Nah untuk proverbia yang terakhir ini dia membaliknya dengan kreatif dengan mengatakan bahwa, “Dum spero, spiro”, dan banyak lagi proverbiae yang lainnya.
Dia menyelesaikan masa studinya di Hokeng dengan predikat nilai yang istimewa dan rapor kepribadian yang sangat memuaskan. Penilaian para formatornya menunjukkan dia sebagai siswa teladan dan votasi dari teman-temannya mengatakan bahwa dia adalah yang terbaik dari antara mereka kecuali seorang temannya yang selama masa-masa pendidikan di seminari selalu melihat kelemahan Poce sebagai seorang anak yang terlalu lemah dan sakit-sakitan. Temannya itu ternyata adalah orang yang selalu menjadi pesaingnya dalam bidang akademik, namun hasilnya selalu kalah pintar daripada Poce.
Mendapat pujian semacam itu Poce masih menunjukkan kerendahan hatinya bahkan dia tidak memusuhi teman yang menilai miring dirinya itu. Dia selalu ingin menjadi, “bonus socius,” bagi semua orang. Setamat dari seminari Hokeng dia dihadapkan pada pilihan untuk masuk ke ordo atau tarekat yang mana. Ada projo yang menawarkan spiritualitas imamat untuk gereja lokal untuk menjadi imam yang melayani paroki-paroki di keuskupan Larantuka. Ada OFM yang mengajak anak-anak kelas 7 Seminari Hokeng untuk bergabung menjadi saudara hina dina. Ada SVD yang menawarkan spiritualitas aktif dan kontemplatif sebagai seorang misionaris yang siap diutus ke mana saja, ke ujung dunia sekalipun . Dan beberapa ordo dan tarekat lain yang mengajak anak-anak seminari menengah untuk bergabung dengan melayani Tuhan dan sesama dalam komunitas mereka.
Pilihan Poce jelas yakni ingin menjadi seperti Om Tuannya karena menurut dia, SVD adalah pilihan terbaik karena dia menggabungkan yang aktif dan yang kontemplatif. Ada saat untuk berdoa secara khusuk, ada saat untuk berkarya dan  terlibat dalam harapan dan kecemasan, duka dan derita, tawa dan canda umat manusia. Baginya teladan hidup dan ajaran Yesus yang dikembangkan oleh Bapa Arnoldus Yansen, imam projo yang mendirikan tarekat SVD itu, adalah model perwujudan imam yang baik dan layak diikuti. Maka, diapun harus beralih, pindah ke bukit sandar matahari, Ledalero, sebagai novis SVD.
Di Ledalero Poce bertumbuh dan berkembang baik sebagai seorang novis SVD. Dia mengasah kecerdasan spiritualnya dalam doa-doa yang khusuk sebagai tuntutan hidup membiara. Dia menjalankan dan selalu merefleksikan dan mengamalkan pentingnya dan indahnya hidup seturut ketiga kaul yang diucapkannya. Dia memilih menjadi miskin, namun kaya di hadapan Tuhan. Dia memilih menjadi murni dengan tidak berfobia pada sesama. Dia memilih untuk taat namun senantiasa berubah sesuai zaman sebagi murid Kristus. Dan yang paling dikenang oleh teman-temannya adalah dia selalu mempunyai rasa takut yang baik dan kudus pada Tuhan yang dia sembah dengan benar.
Ketika Poce menjadi seorang mahasiswa filsafat agama di semester tiga dia menulis apa yang dialaminya sebagai “Rasa Takut yang Baik dan Kudus pada Tuhan” dan tulisannya itu diterbitkan dalam “VOX” majalah yang notabenenya berisi tulisan tetapi diberi nama suara. Vox adalah suara. Tulisannya itu adalah gambaran akan kehidupannya sendiri sebagai seorang filosofen yang sedang menyiapkan diri untuk belajar teologi, maka menurutnya berteologi yang baik sebenarnya mesti berangkat dari rasa takut yang baik dan yang kudus pada Tuhan sebagai Yang Suci. “Tidak ada teolog yang bagus yang bukan merupakan filosof yang bagus”, demikian kata-kata dosen metafisika dan filsafat ke-Tuhan-an lulusan Gregoriana, Roma yang selalu jadi kata-kata paling inspiratif bagi Poce.
Karena ketekunannya Poce kemudian dikirim ke Austria dan Jerman untuk menjadi misionaris muda di sana. Tidak banyak hal yang diketahui keluarganya tentang apa yang dibuat Poce di sana. Yang pasti bahwa Poce bahagia, tetapi tidak sombong. Dia bangga, namun sadar diri untuk selalu rendah hati.

***
Kami juga tidak tahu apa yang dia lakukan di Austria dan Jerman. Yang kami tahu bahwa dia sekarang ada di depan kami dan mengajar kami untuk mempertanggungjawabkan iman katolik kami secara benar. Dia bisa berbicara tentang banyak sekali lahan akademik dan disiplin ilmu. Dia menggunakan dengan mahir filsafat sebagai metode berpikir, sastra sebagai penggunaan bahasa yang estetis dan teologi sebagai bidang spesialisasinya. Dia bisa bercerita dengan sangat hebat lintasan sejarah filsafat mulai dari Thales dari Miletos hingga Jurgen Habermas dan Gadamer di Jerman atau Derrida di Prancis dan Richard Rorty di Amerika. Dia bisa menjelaskan banyak sekali karya sastra terutama karya sastra Jerman dan Indonesia. Dia menyukai Goethe di Jerman dan Rendra di Indonesia. Dan untuk teologi, dia adalah kompendium dan ensiklopedi teologi berjalan yang sangat istimewa. Dia menguasai semua cabang teologi mulai dari teologi wahyu hingga eskatologi sebagai teologi sejarah. Hal inilah yang membuat kami menyukai kuliah-kuliahnya.
Apa yang dikatakan dan diajarkannya bagi kami adalah kebijaksanaan meskipun kami tahu bahwa kami dan juga dia bukanlah pemilik kebijaksannaan tetapi pengabdi kebijaksanaan. Dia selalu mengajak kami untuk terlibat, untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang miskin dan lapar di sekitar kami, di Wuring, di Feondari, di tempat-tempat yang dieksploitasi untuk tambang sebagai hasil kerja sama pemerintah dan pengusaha-pengusaha kaya. Dia mengajak kami bukan hanya dalam kuliah-kuliahnya saja tapi dalam setiap perjuangannya di luar sebagai imam Gereja.
Dia mengajak kami untuk menjadi teolog dengan gaya naratif yang indah. Dia bercerita tentang Karl Barth yang mengatakan bahwa teolog ideal zaman ini adalah teolog yang memegang Alkitab di tangan kanannya dan koran di tangan kirinya. Dia juga menceritakan anekdot  tentang imam Flores dan imam Amerika Latin dalam memperlakukan Alkitab. Kalau imam di Amerika Latin merasa gelisah setelah membaca Alkitab sedangkan imam di Flores membaca Alkitab sebagai bacaan pengumpan tidur siang dan malam.
Pelajaran eskatologi hari ini diakhiri dengan jawabannya atas pertanyaan seorang biarawati, rekan kuliah kami, “Apakah kerajaan Allah adalah sesuatu yang terjadi di masa yang akan datang?”
“Already but not yet”, jawabannya dengan sangat jelas. Dia kelihatannya mau melanjutkan penjelasannya akan pertanyaannya itu tetapi dia dibatasi oleh waktu. Kami menebak bahwa dia mungkin sengaja menghentikannya supaya kami bisa mencari sendiri apa penjelasannya atas jawaban singkat itu. Bukankah berteologi harus menjadi studi yang paling riil dalam kehidupan nyata? Dia bisa berbicara tentang semua bentuk ateisme namun dia, masih sebagai Poce, memilih untuk selalu mempunyai rasa takut yang kudus pada Tuhan.
Tepat pukul 12. 00 siang itu ketika kami harus berarak ke kapela untuk berdoa angelus kami telah melihat dosen eskatologi sebagai teologi sejarah sedang berlutut di hadapan Tuhan yang disembahnya dengan benar. Dia sedang menyembah keberadaan Tuhan yang benar, Yang Suci sebagai mysterium, tremendum et fascinans. Itulah Tuhan yang tidak bisa ditaklukakn oleh ilmu apapun, termasuk oleh akal budi itu sendiri.
            Kami selalu tahu bahwa dia adalah orang biasa yang sama seperti kami: berasal dari sebuah kampung sederhana di Flores, dari keluarga guru yang sederhana. Dan yang kami tahu bahwa dia memulai kehidupannya dengan impian dan impiannya menjadi kenyataan dalam komitmen dan kerja kerasnya. Penulis “The Secret” mungkin baru menulis bukunya sekarang, tetapi dosen kami ini sudah melakukan apa yang ditulisnya sejak masa kecilnya dan sekarang dia ada bersama kami tentu saja untuk menginspirasi kami supaya menjadi luar biasa. Tentu saja dengan cara dan gaya kami masing-masing. Bahan boleh sama tetapi pemahaman dan gaya kita berbeda, itu kata-katanya yang selalu kami ingat.


Kelapa Gading, Jakarta, 16 November 2010

Guru, Sepatu Darun, Kacung dan Tu(h)an

Cerpen buat Eja Inyo Soro

Guru, Sepatu Darun, Kacung dan Tu(h)an
 Oleh : Gusti Tetiro

“Kenapa kau masih mau menjadi seorang guru?,”tanya temanku suatu ketika.
“Karena aku mau belajar lebih banyak”, jawabku singkat padanya.
“Bukannya kalau menjadi guru itu mengajar”
“Iya”
“Bukannya mengajar berarti berhenti belajar?”
“Siapa bilang?”
“Bukannya begitu kan? Dulu kita hafal banyak hal karena kita siswa harus berjuang menjawab soal ulangan dan ujian. Apalagi kalau ditentukan KKM-nya, kita akan berjuang hanya untuk melampaui KKM kan?”
“Tetapi, bagiku mengajar itu belajar”
“Masa?”
“Karena mengajar itu mempertanggungjawabkan apa yang sudah kita belajar”
“Engkau bisa mengajar juga ya?”
“Tidak segampang yang dibayangkan”
“O iya?”
“Engkau bisa menghafal konsep dan teori Allah Tritunggal atau tentang kebebasan dan tanggung jawab dengan sangat baiknya, namun engkau akan kesulitan menjelaskannya kepada anak-anak usia duabelasan”
“Kenapa?”
“Karena kerap kali saya tidak mempunyai bahasa yang pas untuk menjelaskannya kepada mereka”
“Kalau kepada saya?”
“Mungkin bisa saya menjelaskannya karena saya tahu kita akan mulai dengan pengandaian-pengandaian yang sama”
“Mungkinkah itu karena engkau tidak berbakat menjadi seorang guru anak-anak sekolah lanjutan tingkat pertama?”
“Mungkin engkau bisa menilainya begitu, tetapi hati saya selalu berkata kalau saya bisa mengajar mereka pelajaran agama yang sudah saya dapat selama kuliah”
“Mungkin engkau mau mengikuti jejak filosof yang paling kau sukai ya?”
“Memangnya kau masih ingat siapa filosof kesukaanku?”
“Kau paling suka Wittgenstein kan?”
“Iya...”
“Dia yang kau sukai karena kepintarannya dalam bidang filsafat bahasa. Dia yang tesisnya S2-nya langsung dihargai sebagai disertasi doktoralnya. Dan yang paling penting, yang membuat kalian menjadi sama adalah... Kalian memutuskan untuk menjadi guru bagi anak-anak setelah menjadi sarjana dan ahli filsafat”
“Tetapi saya terlalu takut untuk menyamakan diri dengannya”
“Tetapi kalian mempunyai kesamaan sebagai pengajar anak-anak”
“Dia lebih hebat karena dia bisa mengajar anak-anak sekolah dasar yang saya tidak bisa ajar”
“Ah...kau terlalu merendah kawan”
“Tidak, saya mengetahui kemampuan saya. Saya mengagumi sang filosof sebagai pribadi yang hebat yang bisa jadi filosof, pembelajar matematika, arsitek, tukang kebun, guru sekaligus”
“Iya ya... Dia memang hebat”
“Saya mengaguminya”
“Saya mengidolakannya”
“Saya bahkan tidak sampai mengidolakannya”
“Kenapa?”
“Karena saya mesti mengeritiknya”
“Bukannya apa yang dikatakannya itu selalu benar?”
Aku tidak langsung menjawabnya karena kami harus menyeberangi jalan raya depan Istiqlal menuju gerobak mie ayam.

###

“Itu temanku yang jadi kacung di Masjid Istiqlal,”sambil kutunjuk seorang yang sedang menyirami bunga-bunga depan masjid Istiqlal, “Namanya Darun”.
Kami sedang makan mie ayam depan katedral Jakarta malam itu setelah aku diberi izin keluar mess guru oleh suster kepala.
“Memangnya dia kenapa?”
“Darun itu kacung yang baik”
“Baik bagaimana?”
“Dia mau menjaga setiap sepatu pengunjung masjid Istiqlal dan menjamin keselamatan sepatu dan pemilik sepatu selama berada di dalam masjid Istiqlal”
“Kasihan ya dia”
“Kasihan kenapa?”
“Dia pasti kurang mendapat pendidikan sehingga dia menjadi kacung masjid saja”
“Jangan salah menilai kawan. Saya pernah merekam penjelasannya tentang Masjid Istiqlal. Ada di HPku sekarang. Penjelasannya persis seperti yang ditulis Wikipedia. Ini dengarkan...”
“Ayolah putarkan...”
“Masjid Istiqlal adalah masjid yang terletak di pusat ibukota negara Republik Indonesia, Jakarta”, suara dari HPku memperdengarkan penjelasan Darun, “Masjid ini adalah masjid terbesar di Asia Tenggara. Masjid ini diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir. Sukarno di mana pemancangan batu pertama, sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Istiqlal dilakukan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1951. Arsitek Masjid Istiqlal adalah Frederich Silaban.
Lokasi masjid ini berada di timur laut lapangan Monumen Nasional (Monas). Bangunan utama masjid ini terdiri dari lima lantai. Masjid ini mempunyai kubah yang diameternya 45 meter. Masjid ini mampu menampung orang hingga lebih dari dua ratus ribu jamaah.
Selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam, masjid ini juga digunakan sebagai kantor Majelis Ulama Indonesia, aktivitas sosial, dan kegiatan umum. Masjid ini juga menjadi salah satu daya tarik wisata yang terkenal di Jakarta. Kebanyakan wisatawan yang berkunjung umumnya wisatawan domestik, dan sebagian wisatawan asing yang beragama Islam. Tidak diketahui apakah umat non-Islam dapat berkunjung ke masjid ini.
Pada tiap hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi Muhammad, presiden Republik Indonesia selalu mengadakan kegiatan keagamaan di masjid ini yang disiarkan secara langsung melalui televisi.”
“Bagaimana?”
“Hebat sekali dia ya…”
“Ada satu yang mengesankan dari kisah hidupnya yakni kisahnya tentang sepatu Soeharto yang pernah dipakainya”
“Memang Soeharto mengenal seorang kacung seperti dirinya?”
“Mereka akrab satu sama lainnya setelah Soeharto memberikan sepatunya kepada Darun si Kacung masjid itu”
“Dia pasti bangga…”
“Dia bahkan bercerita dengan hebatnya tentang kebiasaan Soeharto menyapanya ketika dia menanggalkan atau memasang kembali sepatu Soeharto. Dia bahkan bercerita tentang kebiasaan Soeharto menyelipkan uang lima puluhan ribu bergambar dirinya ke dalam katung baju Darun setelah Darun memasang kembali sepatu sang bapak”
“Begitulah orang kecil di hadapan Pemimpin Otoriter itu”
“Tidak seperti itu juga karena katanya Soeharto tidak pernah berlaku kejam kepadanya atau kepada siapa saja. Soeharto bahkan selalu tersenyum kepada siapa saja. Kan  teman tahu ada penulis yang menjuluki Soeharto sebagai The Smile General”
“Itukan triknya untuk menutupi keotoriterannya”
“Tapi Darun bilang Soeharto itu tidak otoriter hanya orang-orang di sekitarnya saja yang mau dekat-dekat dengannya bahkan ada yang mau menyembahnya”
“Mentalitas kacung semuanya”
“Mungkin, tetapi memperhatikan apa yang kacung Darun katakan itu ada benarnya juga”
“Benarnya bagaimana?”
“Banyak orang mendekatinya bahkan kita seluruh bangsa menyebutnya sebagai bapak kan? Sekurang-kurangnya bapak pembangunan Orde Baru”
“Terus?”
“Kalau kita sudah menganggapnya sebagai bapak berarti kita tidak akan melawannya, kita tak dapat mengadilinya bahkan ketika kita semua tahu kalau dia benar-benar bersalah.”
“Ha?”
“Anak manusia mana yang mau mengadili bapaknya?”
“Wouuuww… masuk akal,” reaksinya mengingat kami latah waktu kami masih di bangku kuliah dulu.
“Hahaha… Jangan-jangan Darun sekarang sedang mengenakan sepatu Obama yang barusan mengunjungi masjid Istiqlal!”
“Hahaha…,” tawanya pecah khas Flores tengah mengundang perhatian anak gadis pemilik gerobak mie ayam.

###

“Rupanya kita mesti ke Gereja sekarang”, ajak teman saya setelah mendengarkan nyanyian dari arah katedral.
“Aku juga mau berdoa sebentar”, setujuku sambil mengarahkan langkah dari luar gerbang katedral ke dalam gedung gereja.
“Aku seringkali melihat gedung gereja dan masjid Istiqlal di sekitar ini seperti makam-makam Tuhan sebagaimana kata Nietzsche”
“Itu karena Nietzsche salah menganggap bahwa dia telah membunuh Tuhan, tetapi kita besyukur karena dia sukses membunuh konsep ke-Tuhan-an yang salah”
“Tapi yang pasti saya merasa aman kalau ada di sini, apalagi ketika saya merasa cemas, kesepian, terancam dan tidak aman”
“Atau jangan-jangan kau meyakini Freud benar waktu mengatakan Tuhan tidak lain adalah kerinduan infantil kita akan figur ayah yang menjamin rasa aman kita”
“Iya…kenapa?”
“Tidak apa-apa”, saya tertunduk sejenak dan temanku langsung menyambar, “Ada satu hal yang kutahu kebenaran mutlaknya sebagaimana yang dikatakan filosof kesukaanmu itu, “Wovon man nicht reden kann, dareuber soll man schweigen—Orang harus diam tentang apa yang orang tidak dapat bicarakan”.
“Terus, apa yang kaupikirkan?,” tanyaku lagi.
“Wittgenstein benar! Mutlak!!!”
“Tidak! Wittgenstein salah kalau mengajak kita untuk diam tanpa suara dan tanpa pikiran. Saya hanya berpikir bahwa di hadapan sesuatu yang tidak dapat dikatakan kita mesti senantiasa bergelisah memikirkannya sebab kita hidup dan kita mati dari dan di dalamnya. Kita tidak boleh merayakan kematian Allah dalam bahasa”
“Wouw….”
“Di hadapan saya Wittgenstein benar karena ‘keheningannya’ adalah keheningan seorang pemikir yang beriman dan berharap. Kerap kali kita bisa jadi seperti si Kacung Darun mungkin dengan gaya yang berbeda”
“Kau mau sinis saya dengan gaya pembagian Nietzsche untuk dua kelompok manusia yang belajar filsafat?”
“Engkau yang mengatakannya”
"Tidak apa-apa... Saya sadar kau sudah sungguh jadi guru sekarang, bahkan guru untuk saya"
“Hahaahaha…”, kami saling meninju lengan satu sama lain sebagai bahasa persahabatan sebelum kami masuk ke dalam katedral. Tentu saja untuk berdoa pada Dia yang harus selalu kami pikirkan dan bicarakan, bahkan untuk mengajak-Nya berdialog dan bekerja sama dalam tanggung jawab masing-masing.


Jakarta, 10 Desember 2010

Ngga'e


Oleh : Gusti Adi Tetiro

            Dahulu di kampung kami ini ada seorang pria tua. Rambutnya panjang. Janggutnya panjang. Kedua-duanya sudah beruban lagi. Kami menyapanya Wajangata Ema Kojo. Sapaan itu bukan sebuah sapaan yang baru muncul dari generasi kami, tetapi memang sudah ada sejak zaman orang tua-orang tua kami. Ema Kojo terkenal sebagai orang yang ramah,  baik, dan sangat menyayangi anak kecil. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan kebanyakan bapak tua-bapak tua di wilayah kami yang selalu menunjukkan ekspresi ganas dan berlaku kejam dan bengis terhadap istri dan anak-anak mereka. Ema Kojo ini adalah seorang guru agama di kampung kami. Dia pernah mengajarkan kami bahwa kami ini orang-orang nasrani yang mesti menjadi baik hati dan baik dalam hidup sehari-hari mengamalkan cinta kasih.
            Suatu sore hari di saat kami sedang bermain di halaman kampung, kami dipanggil oleh Ema Kojo. Katanya: “Anak-anak, sekarang kita doa dulu. Doa angelus”. Mulailah kami berdoa Angelus sebagaimana yang telah kami hafal di sekolah setiap hari. Setelah berdoa Ema Kojo mengatakan sesuatu:
 “Kita mesti bangga, karena kita mempunyai Allah yang mahaesa dan mahakuasa”.
Seorang temanku yang nakal bertanya, “Ema, Yesus itu siapa?”
“Yesus itu anak tunggal Allah”
“Kenapa kita bilang Dia Allah Putera?”
“Karena Dia anak Allah. Sama kan kita bilang Rombe anak mosalaki, karena bapaknya mosalaki”
‘Itu berarti Allah kita ada dua: Allah Bapa dan Allah Putera”
“Bukan hanya dua, tetapi ada tiga nama: Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Tetapi kita hanya mempunyai satu Allah”
“Kan kita punya tiga Allah. Masa ema bilang kita hanya punya satu Allah. Ema pasti mau tipu kami”
“Benar. Kita mempunyai satu Allah, tetapi tiga pribadi. Ingat, kita hanya punya satu Allah dengan tiga nama”
“Aku iwa mengerti. Saya tidak mengerti”
“Bisa saja kan seperti Marilonga. Bisa disapa Mari. Bisa disapa Longa. Bisa disapa Ata Laki kan...”
“Oh jadi begitu. Allah itu hanya satu dengan tiga nama”
Teman-temanku yang lain mulai merasa puas tetapi aku masih bingung. Kamipun kembali bermain lempar kemiri di halaman kampung kami itu.
            Menjelang malam kami dipanggil pulang ke rumah oleh orangtua kami masing-masing. Di rumah oma bercerita tentang Dua Ngga’e. Du’a  Nga’e itu adalah pencipta dan penguasa seluruh alam. Du’a menguasai langit dan Ngga’e menguasai bumi. Selain manusia ada makluk lain yang mendiami bumi ini, yaitu nitu pa’i dan ata polo. Nitu pa’i dan ata polo mendiami batu-batu besar, kali-kali besar, dan pohon-pohon besar. Karena nitu pa’i adalah orang-orang jahat, maka manusia tidak boleh berbuat sembarangan, jalan sendirian, atau mengganggu tempat tinggal mereka itu. Setelah mendengar semuanya itu, aku ketakutan dan tidak berani lagi pergi sendirian atau dengan teman-teman ke tempat-tempat itu.
            Hari-hariku mulai saat itu adalah hari-hari penuh tanda tanya. Setiap hari Minggu aku ke gereja berdoa secara buta kepada Tuhan yang disebut Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus. Sekali-kali berdoa rosario bersama mama di gua Maria. Setiap bulanpun aku tidak pernah luput diajak ine du’a untuk menyalakan api di tungku tengah dalam rumah adat. Kata ine du’a, api itu mesti dinyalakan untuk memasak sesajian bagi para nenek moyang yang telah meninggal dunia.
            Aku bingung. Aku mencintai Allah-ku tetapi aku tidak mau tidak menyembah Du’a Ngga’e-ku.
            Seribu tanya di kelapaku sekarang. Bahkan ketika pemahaman teologiku sudah melampaui apa yang Wajangata Ema Kojo pahami. Mungkin sejarah yang akan mengungkapkannya. Dan aku meramal: Sejarahpun tidak akan selesai menenunnya.


Biara OFM Kampung Ambon, 01 Januari 2011 (00.30)
Setelah dijamu seorang ahli sejarah

Batas...

Batas

“Frater, kenapa perempuan tidak boleh jadi imam?”, tanya seorang siswi SMU pada seorang frater yang mengunjungi sekolahnya.
“Itu pertanyaan yang saya tidak bisa jawab Celline”, jawab frater penuh kejujuran.
“Bukannya frater belajar filsafat teologi?”
“Apakah orang yang belajar filsafat teologi itu bisa jawab semua hal?”
“Kan suster kepala sekolah bilang ke kami kalau filsafat teologi itu ibu segala ilmu!”
“Ha? Suster bilang begitu?”
“Iya frater… suster bilang begitu waktu pelajaran agama. Katanya kalau ada teman-teman saya yang laki-laki mau jadi imam mereka nanti belajar filsafat teologi sebagai ibu segala ilmu”
“Terus… ada yang mau jadi imam di kelas ini?”
“Yang laki-laki tidak ada. Hanya saya yang angkat tangan waktu itu. Suster bilang, ‘kau tidak bisa jadi imam karena kau perempuan’. Makanya sekarang saya tanya lagi ke frater apakah saya betul-betul tidak boleh jadi imam? Padahal saya mau belajar filsafat teologi”
“Kalau Celline mau belajar filsafat teologi, Celline bisa daftar masuk Sekolah Tinggi Filsafat Teologi”
“Saya tidak bisa jadi imam ya?”
“Celline bisa jadi suster kalau Celline mau pakai jubah”
“Saya mau buat misa!”
“Hmmmmm….”
“Kenapa frater? Tidak boleh ya perempuan jadi imam dan buat misa”
“Maaf Celline… Saya tidak bisa jawab pertanyaanmu ini”
“Filsafat teologi tidak bisa jawab pertanyaan ini ya?”
“Mungkin ahli filsafat teologi lain bisa jawab pertanyaanmu Celline, tetapi saya tidak bisa jawab. Nanti suatu saat kalau saya bisa jawab baru saya jawab ya…”
“Frater bisa jawab atau frater tidak boleh jawab?”
“Pertanyaanmu bagus, tetapi saya memang tidak bisa jawab bukan tidak boleh jawab”
“Soalnya beberapa malam yang lalu saya baca di bukunya bapak saya kalau imam-imam itu tidak boleh mengeluarkan sembarangan pendapat. Katanya harus patuh kepada Roma”
“Celline baca buku apa? Bapaknya Celline kerja apa?”
“Itu bukunya Bapak judulnya saya lupa frater. Bapak saya pegawai negeri di BKKBN bagian penyuluhan KB”
“Bapakmu gelarnya apa?”
“S. Fil. Katanya Sarjana Filsafat. Bapak saya itu dulunya frater. Makanya anak-anaknya diberi nama aneh-aneh kata mama. Kakak saya yang anak pertama namanya Nicolaus Cusanus Goethe-Schiller. Saya Sophia Celline Hellena.”
“Kenapa bapakmu kasih nama Sophia Celline Hellena?"
"Sophia itu artinya kebijaksanaan. Hellena itu artinya negeri Yunani. Nah kalau Celline karena bapak saya fans dengan Celine Dion”
“Nama yang bagus”
“Tetapi frater belum bisa jawab ya kenapa perempuan tidak bisa jadi imam?”
“Iya Celline, saya minta maaf saya belum bisa jawab sekarang”
“Tidak apa-apa frater. Om pater saya yang dosen saja juga bilang belum bisa jawab”
“Bagus. Celline mau tanya yang lain lagi?”
“Tidak. Saya mau tunggu saja sampai frater dapat jawabannya”
“Hehe..Jangan bercanda. Ini butuh waktu yang lama”
“Saya tunggu saja…”
***

“Pater, kenapa Ratzinger begitu angkuh untuk bilang bahwa agama kristen sebagai agama yang rasional adalah satu-satunya yang bisa diharapkan untuk diskursus universal?”, tanya frater kepada pater pembimbing skripsinya.
“Iya...itu selalu mengandaikan kalau kita tahu latar belakangnya bilang begitu!”, jawab pater doktor teologi lulusan Gregoriana itu.
“Apakah Ratzinger seorang konservatif?”
“Mungkin!”
“Mungkin juga Ratzinger seorang apologet Kristen? Jangan-jangan dia merasa eksklusif dalam kekristenannya?”
“Mungkin!”
“Atau dia buat itu untuk menjaga ajaran-ajaran gerejanya?”
“Mungkin!”
“Atau jangan-jangan dia benar bahwa satu-satunya agama yang benar adalah Kristen baik katolik maupun Kristen-kristen yang lain?”
“Kenapa kau bilang begitu?”
“Lihat saja semua atheisme atau sosiologi dan psikologi agama semuanya hanya menyerang kekristenan.Dan kristen dapat melewati semua kritik itu”
“Apakah engkau sudah mencari kritik agama lain?”
“Sejauh yang saya cari tidak ada!”
“Kamu cari dimana?”
“Saya cari di internet!”
“Apakah Budhisme bukan kritik terhadap Hinduisme?”
“Saya belum tahu”
“Jangan buru-buru buat keputusan frater…”
“Kalau saya bilang Ahmadiyah adalah kritik terhadap Islam?”
“Belum ada penelitian dan pembuktian yang jelas”
“Iya ya… Jangan buru-buru!”
“Iya anak muda… Jangan buru-buru!”
“Jangan buru-buru juga untuk bilang Ratzinger konservatif dan eksklusif?”
“Iya… jangan buru-buru!. Buktikan dulu sebelum kau bilang begitu”
“Dengar-dengar Ratzinger juga tidak mengakui teologi kontekstual?”
“Mungkin! Kamu bisa belajar teologi kontekstual dari Steven Bevans!”
“Tetapi… Paus Benedictus XVI…”
“Stttt!!! Ratzinger! Bukan Benedictus XVI”, cegah pengajar dogmatik itu keras.

***

“Frater… kapan frater bisa jawab?”, tanya Celline ketika menemui frater lagi di suatu pusat perbelanjaan di kota tersebut.
“Saya belum bisa jawab sekarang”, jawab sang frater.
“Frater tidak usah jawab saja. Saya sudah tahu jawabannya!”
“Bagaimana?”
“Karena saya sudah tidak ke gereja lagi sekarang!”
“Kenapa?”
“Karena saya tidak mendapatkan jawaban apa-apa!”
“Jangan buru-buru buat keputusan!”
“Saya tidak buru-buru! Saya akan tunggu sampai saya butuh gereja baru saya ke gereja!”
“Ouw… itu pilihanmu!”
“Kok frater bilang begitu?”
“Karena saya juga tidak frater lagi…”
“Sejak kapan?”
“Sejak pagi tadi…”
“Kenapa?”
“Tidak ada apa-apa. Tunggu saya dapat jawaban baru saya masuk lagi!”
“Jangan buru-buru frater!”
“Saya tidak buru-buru!”
“Itu pilihan frater”
“Sttttt… bukan frater. Saya bukan frater lagi”
“Maaf… Saya menghargai pilihan saudara”




La Piazza, Kelapa Gading, Jakarta, 17 Februari 2011

Frans Seda

Seda Laki

Aku ini orang Lio. Orang Lio itu orang Flores tengah. Orang Lio itu patriarkat. Orang Lio itu feodal kalau dia dari keturunan raja dan bermental kacung kalau dia berasal dari keluarga ata ko’o (hamba sahaya). Yang menarik bahwa tidak ada seorang Liopun sekarang yang mengatakan dirinya sebagai hamba sahaya. Masing-masing orang Lio akan mengatakan dirinya sebagai keturunan raja.  Orang-orang Kotabaru dan Watuneso akan mengatakan mereka keturunan raja Lio, tetapi orang-orang di Jopu mungkin akan mengatakan bahwa seorang raja dari Kotabaru telah mengambil posisi raja dari seseorang yang akhirnya melarikan diri ke Jopu. Orang-orang embu Goro di kampong adat Wolotolo akan mengatakan merekalah ata pu’u di kampung itu, tetapi orang-orang embu Ndosi dengan mulut besar mengatakan merekalah raja di Wolotolo. Orang-orang di kampong Saga mengatakan merekalah anak tuan tanah baik dari Sa’o Ata Laki ataupun Sa’o Bele.
Itu sejarah ketika orang-orang Lio masih mengandalkan kepemilikan tanah, kebun dan jumlah istri sebagai acuan untuk status social. Tetapi sekarang orang-orang Lio sudah berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Mungkin ini bukti nyata dari perubahan cara pandang manusia. Hematku perubahan konsep diri dan cara pandang ini adalah jasa besar misi katolik di Lio ratusan tahun lalu. Dengan meyakinkan bahwa setiap orang adalah citra Allah sebagaimana yang diajarkan para misionaris SVD dahulu, orang-orang Lio kemudian yakin bahwa mereka semua bermartabat sama di hadapan Allah. Tidak ada yang beda di hadapan Tuhan. Orang yang paling suci ataupun penjahat kelamin bermartabat sama di hadapan Allah. Orang yang tidak mempunyai kepentingan politik dan para koruptor kakap sama martabatnya di hadapan Allah.
Aku tidak akan menceritakan panjang lebar tentang orang-orang Lio karena aku sekarang tidak sedang di Lio. Aku sekarang di Jakarta. Jakarta itu beda sekali dengan Lio. Di Lio anak-anak miskin bermain di tengah sawah atau di pinggir pantai. Dan anak-anak pegawai negeri atau pengusaha yang agak kaya bermain di pusat-pusat perbelajaan yang ada satu-dua di ibukota kabupaten. Di Jakarta anak-anak miskin bermain di tengah jalan dan rel kereta api. Dan anak-anak orang kaya bermain di pusat-pusat perbelajaan yang jauh lebih mewah daripada Barata atau Hero di kota Ende.
Akan tetapi ada sesuatu yang buat kubangga jadi orang Lio di Jakarta. Aku bangga bukan pada siapa-siapa. Aku bangga pada seorang lelaki Lio yang sekarang sudah tiada. Dia telah mati dan aku di depan makamnya sekarang. Inilah satu-satunya orang Lio yang dimakamkan di sini. San Diego Hill.
***
“Apa yang kau puji darinya?”, kata temanku ketika kami di depan suatu nisan bernama.
“Perjuangan, Ketekunan dan keberanian!”, jawabku.
“Tetapi dia kurang berjasa untuk kemajuan daerah asalnya!”
“Karena dia tahu tidak ada keberhasilan tanpa kerja keras!”
“Tetapi ketika dia mempunyai kuasa kenapa dia tidak menggunakan kekuasaannya meloloskan kita menjadi orang-orang yang sukses sepertinya?”
“Karena baginya kekuasaan itu bukan tujuan. Di tangannya kuasa adalah sarana untuk kebermaknaan”
“Akh… dia terlalu jujur makanya dia tidak dapat apa-apa!”
“Iya… kan dia sudah bilang ke kita kalau dirinya lupa korupsi, hehe”
“Itu masalahnya!”
“Bukan masalah!”
“Masalah!”
“Apa masalahnya?”
“Kaderisasi orang kita mandeg!”
“Karena kaderisasi baginya bukan ambil pasang tanpa perjuangan”
“Terus apa yang dia buat untuk kaderisasi kita”
“Dia dirikan Atma Jaya. Dan kita yang mesti memperjuangkan keberlangsungnya!”
“Atma Jaya itu milik Gereja dan sekarang sudah dikuasai orang Jawa!”
“Kita bukan anggota Gereja? Atma Jaya itu kebanggaan kita. Hanya orang Lio ini awam katolik pertama yang bisa dirikan universitas atas nama katolik. Aku pikir kamu juga mendambakan awam-awam handalkan?”
“Iya… tetapi dia lupa memasang orang-orangnya untuk melanjutkan dia!”
“Kan tadi sudah bilang kalau baginya ‘lanjutkan!’ itu artinya dengan perjuangan! Hidupnya saja penuh perjuangan sejak dia masih di kampong sana”
“Macam tahu-tahu saja!”
“Sedikit tahu dari cerita orang kalau dia dulu harus jalan kaki mendaki jalanan setapak puluhan kilo meter untuk mengikuti misa hari Minggu. Sabtu sore dia dan ayahnya yang guru agama di kampungnya akan memulai perjalanan ke gereja Mageria”
“O iya?”
“Iya… Betapa kaget dan tersipu malunya bapak Woda Pale waktu dia bercerita tentang jauhnya dia dahulu mesti gereja ke Mageria setelah jalan kaki dari Maulo’o dibandingkan dengan bapak ini yang berjalan kaki dari Lekebai ke Mageria”
“Dia sudah belajar berjuang sejak masa kecilnya!”
“Iya… dia belajar memaknai jalan kakinya sejak usia kecilnya. Menaklukan gunung-gunung di Lio timur. Menantang kerasnya alam pinggir pantai ketika mesti mencari kayu bakar di balik Gunung Meja ketika dia tinggal di asrama frateran di Ndao sana. Berjalan kaki mengelilingi Jakarta baik dalam situasi rekreasi maupun situasi terpaksa. Berjalan kaki dari asrama ke kampusnya waktu dia di Belanda”
“Itu yang tidak kita punyai!”
“Dan itu yang harus kita sadari!”
“Ternyata sejarah berjuta-juta kilo meter itu dimulai dari langakah seorang anak di sebuah kampong Lio itu. Seandainya sepatu –sepatunya bisa berkisah…”
“Jangan-jangan dia berjalan kaki tanpa sepatu!”
“Bisa jadi!”

***
“Apa yang bisa kau banggakan sebagai orang Lio?”
“Tidak ada!”
“Bukannya tanah kalian itu subur di gunung-gunung dan banyak potensi tambang di wilayah-wilayah tertentunya?”
“Jangan kau bunuh kami dengan puja-puji kesuburan yang buat kami malas dan angan-angan tambang yang buat kami kaya mendadak dan setelah itu cucu-cucu kami mati kelaparan!”
“Tetapi Jakarta ini kejam… Semua orangmu telah menyetujui proyek tambang itu! Engkau tidak bisa hidup begini-begini saja! Kebutuhan makin hari makin bertambah!”
“Enyah kau iblis! Kalau pun itu nasib kami miskin tanpa tambang izinkan kami membuktikan takdir kami! Jangan bawa konsep kejam dalam otakmu ke Pulau kami di sana!”
Suara itu menghilang dan sekarang kami tahu bahwa kami mesti bekerja untuk hidup bukan berleha-leha di belakang meja di Jakarta sambil menikmati lubang-lubang eksploitasi di tanah kami. Kami tahu orang-orang Lio Jakarta bukan orang-orang sadis yang menikmati mutilasi wilayah-wilayahnya.
“Jangan kau beri rakyat kami angan-angan enaknya tambang dengan menjadikan mereka masokis yang merayakan penderitaan cucu-cucu mereka kelak!”, teriakku keras, “Karena hidup mesti diperjuangkan dan karena makanan kita mesti dari kerja tangan yang halal untuk jadi bagian kita”.
Thanks Bapak Frans. Kami akan ‘jalan kaki’ mulai dari detik ini untuk membuktikan nasib kami.



Taman Frans Seda UAJ, San Diego Hill, 18 Februari 2011.

PATER YOSEPH

PATER YOSEPH
“Apa yang menarik dari ide Agustinus tentang sejarah sampai-sampai No tulis praskripsi tentang teologi sejarah Santo Agustinus?”, tanya dosen pembimbingku itu penuh keakraban dengan dialek Solor yang enak didengar.
“Saya senang idenya tentang Civitas Dei dan Civitas Terrena. Kota Tuhan dan Kota Dunia”, jawabku penuh percaya diri meski kutahu ilmuku hanya seujung kuku dari teolog kelahiran Ritaebang, Solor ini.
“Wah, No punya pemahaman su mendalam e…” katanya menguatkanku. Dan saat itu kutahu kalau itulah caranya membangkitkan percaya diriku. Dia seorang teolog dan motivator. Dan kami semua tahu itu.
“Ah Pater… Saya bukan siapa-siapa kalau dibandingkan dengan doktor ahli Aloyis Pierris lulusan Gregoriana, Roma”, jawabku lagi untuk mengatakan bahwa aku mengagumi dan mengakui kepintarannya.
“Ah No… Kita bukan siapa-siapa le. Kalian yang lebih muda itu yang mesti lebih brilian dari kami yang sudah tua-tua ini. Atau bagaimana?”
“Kami mesti belajar banyak di senior-senior ka Pater…”
“Tapi No punya penampilan kemarin malam di BELUM ADA JUDUL itu terlalu istimewa e… Kami cerita-cerita di kamar makan patres dan banyak pater yang akui. Mahasiswa-mahasiswa sekarang memang lebih maju daripada kami dulu. Kalian punya literature yang jauh lebih luas daripada kami”
“Terima kasih Pater… Kami juga senang dan kami tahu itu hasil perjuangan pater-pater yang sekarang buat kami”
“Benar No… kami dulu hanya boleh belajar Agustinus, Thomas Aquinas, Bonaventura, dan pemikir-pemikir yang dukung ajaran Gereja…”
“Tapi kan ide-idenya Thomas tentang perempuan kan tidak mendukung ajaran Gereja kan?”
“Nah bagian itu yang tidak diajarkan ke kami”
“O iya?”
“Iya… kami yang ada sekarang ini punya pikiran terbuka setelah kami ada kesempatan belajar di luar negeri”
“Mungkin kita butuh pembenturan horizon dengan orang lain dari budaya lain dulu baru kita bisa berubah… hehehe”
“Nah ketahuan No su paham hermeneutika Gadamer…”, kata dosen murah senyum itu kepadaku lagi.
“Ah Pater ni selalu sa ada ruang untuk puji e… hehehe”
“Bukan pujian bombastis toh… tapi ini murni kekaguman”
“Semacam thaumazein?”
“No bilang thaumazein, saya ingat Plato. Waktu kami belajar teologi kami ingat kata-kata: Gloria Dei vivens homo
“Dan inilah istilah-istilah yang membedakan pembelajar filsafat semester empat dengan dosennya yang teolog besar”, kataku sembari tersenyum.
“No jago puji orang ju e…hehehe”, jawab imam yang selalu bercerita tentang situasi-situasi orang-orang miskin di setiap negara yang dia kunjungi. Inilah yang membedakan dirinya dengan sebagian dosen lain. Dosen-dosen lain akan bercerita tentang pesawat apa yang mereka pakai waktu terbang dari Roma ke Washington atau dari Bali ke Canberra. Pater Yoseph bercerita tentang orang-orang miskin di Bangladesh dan India, di Filipina dan Jakarta. Dia akan menggedor kesadaran dan rasa kepedulian mahasiswa untuk berpihak pada yang miskin dan lemah.
Sore itu kami melanjutkan pembicaraan tentang apa yang harus diperbaiki dari tulisanku itu dan waktu kapan yang pas untuk menguji tulisanku.
DUA MINGGU KEMUDIAN. Aku ke kamarnya dan di depan kamar ada tulisan: “Pater di Semarang, sakit. Minta doa kita semua”. Aku pulang ke asramaku dan sejenak doa bagi pastorku. Sejenak saja benar karena pikirku pasti banyak orang yang mendoakannya. Seminggu setelah kukunjungi kamarnya itu, pagi-pagi buta lonceng asramaku berbunyi lebih pagi dari biasanya dan kutahu pasti ada suatu berita kematian. Aku menduga-duga kematian siapa lagi? Uskup mana lagi yang dipanggil menghadap Bapa? Karena akhir-akhir ini banyak uskup yang mangkat tanpa penyakit yang membuat mereka istirahat di rumah sakit. Misa pagi dipimpin bapa rumah dengan pemberitahuan berita meninggalnya rector seminari tetangga. Kami mendoakannya dan kutahu bahwa ada banyak teman-temanku yang terpukul sedih sekali dengan berita duka ini.
Hidup ini hanya istirahat minum, kita mesti kuat menerima apapun yang akan terjadi. Itu kotbah saleh. Engkau tidak akan senantiasa kuat untuk mendengar berita duka dari pribadi yang kau sayangi. Engkau merasa hancur dahulu sebelum bangkit dan menerima kenyataan.
Kami menunggu kedatangannya untuk berdoa bersamanya sekali lagi. Ini moment penting.
Di sela penantian aku memasuki kamarnya. Di atas meja kerjanya kutemukan tulisanku dengan beberapa pertanyaan dan catatan di halaman belakangnya”
“Gus, tulisanmu bagus untuk mahasiswa seusiamu. Ini pertanyaan-pertanyaan buatmu:
  1. Apa kritikmu untuk civitas Dei dan civitas terrena menurut Agustinus?
  2. Apakah kehendak yang baik sudah cukup untuk menjelaskan sejarah kehidupanmu sendiri?
  3. Apakah Gusti masih yakin bahwa Tuhan lebih mengenal diri kita daripada kita mengenal diri kita sendiri?
  4. Gusti, masih banyak yang harus ditanyakan karena hidup ini memang harus selalu terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan. Tetapi untuk keperluan kita sekarang, ini pertanyaan terakhir: Apakah engkau memilih teologi sejarah Agustinus dengan pembahasan tentang CD dan CT dan bukan etika Thomas Aquinas tentang pembedaan suara hati dan hati nurani karena Agustinus menulis lebih puitis daripada Thomas? Kuberharap semoga ini bukan alasan karena banyak orang terpukau dengan kata-kata indah dan lupa apa yang harus dilakukan? Maaf kalau pertanyaan ini mungkin kritik bagimu dan kupikir serentak juga kritik bagiku.
Terima kasih Gusti. Semoga kita bisa bertemu lagi kalau bukan di dunia mungkin di rumah Bapa di surga ketika kota Tuhan menjadi nyata pada langit yang baru dan bumi yang baru dimana kita akan bertemu dengan Tuhan dari muka ke muka. Salam No… sukses untuk karyamu. Rev YSH.”

Aku terdiam setelah membaca, tidak menangis tapi air mata berada di titik batas mau ditumpahkan dan ketegaran seorang pria.
Kusadar bahwa pertanyaan-pertanyaan itu adalah kerinduan serentak harapan….

Ah kematian, kau terlalu manis untuk dibicarakan…

Surat Guru kepada murid-muridnya

Surat Guru kepada muridnya

Anak-anakku yang terkasih…
Hidup ini sebuah hadiah. Hadiah yang diberikan secara cuma-cuma oleh Tuhan. Hidup ini sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Hidup ini sebuah kebebasan. Kebebasan yang diberikan oleh Tuhan Sang Pembebas. Hidup ini sebuah pilihan. Pilihan yang kiranya bisa membuat kita sadar bahwa dalam hidup ini selalu ada hitam dan putih, terang dan gelap, besar dan kecil, yin dan yang. Singkatnya, saya hanya mau mengatakan kepada kalian bahwa hidup ini sebuah hadiah kebebasan yang harus disikapi dengan pilihan. Dan sejarah sudah selalu membuktikan bahwa pilihan untuk menjalani kehidupan sebagai kebebasan yang bertanggung jawab adalah pilihan terbaik yang selalu ada sebab pilihan untuk bebas yang bertanggung jawab selalu mengantarkan kita kepada kebahagiaan. Bukankah yang kau cari dalam kehidupanmu adalah kebahagiaan? (Dan yang mungkin jadi masalah untuk kita semua bahwa tidak ada kesuksesan dan kebahagiaan tanpa ketekunan dan tahan-banting untuk selalu memilih bebas bertanggung jawab!)
Ah saya berceramah saleh terlalu banyak. Pasti kalian bosan mendengar nasihat bijak ayah-ibu di rumah, ceramah moral bapak-ibu guru di sekolah dan kotbah-kotbah saleh romo, pendeta, atau ustad di tempat-tempat ibadat masing-masing.
Ini cerita tentang aku dan teman-temanku waktu sekolah dulu. Kami sekolah di suatu lembaga pendidikan yang agak unik. Keunikan itu karena beberapa hal: murid-murid sekolah kami semuanya laki-laki, kami dilarang berpacaran, kami mesti tinggal di asrama dengan berbagai aturan yang agak aneh untuk kalian sekarang: bangun pagi jam 04.30, mandi, berdoa dan misa kudus, makan pagi, sekolah, doa siang, istirahat siang, kerja tangan di taman atau ruangan, olahraga, mandi, studi sore, berdoa, makan malam, studi malam, doa malam, sikat gigi dan tidur malam. Itu aturan baku setiap hari.
Jangan buru-buru bilang saya tradisional dan konservatif karena saya selalu melihat ke belakang ya… Saya tidak akan mengatakan bahwa system pendidikan kami dulu itu lebih baik daripada kalian sekarang. Sistem pendidikan kita sama untuk suatu zaman yang berbeda. Ketika kalian sekarang ke mal dengan alasan sosialisasi biar tidak kuper, kami dulu juga masuk ke kampong-kampung cari teman bermain bola di tanah lapang biar tidak dibilang kuno. Ketika kalian sekarang bercerita tentang CSI dan minat kalian dalam dunia detektif, kami juga dulu sudah diajak oleh seri Sapta  Siaga dan Lima Sekawan hingga Agatha Christie untuk bertualang sebagai detektif dan kami mensimulasinya di tengah-tengah kebun asrama kami. Ketika kalian sekarang sibuk berteman melalui facebook, twitter, atau YM, kami dulu juga berteman melalui surat-surat cinta yang menggebu-gebu. Ketika kalian sekarang makan makanan-makanan barat sejenis KFC, McD, Hok-Ben, kami juga sudah melahap roti daging dan susu Swiss yang langsung didatangkan dari Eropa. Sebenarnya tidak mempunyai perbedaan, tetapi kita tidak bisa menutup mata kalau ada para ahli dan amatiran pendidikan yang mengatakan anak-anak sekarang hidup dalam suatu zaman instan, siap saji, dan mentalitas big-boss. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan hal yang sama. Saya bahkan lebih setuju bahwa kita mempunyai kenikmatan-kenikmatan masing-masing sesuai zaman dan tempat dimana kita berada.

Anak-anakku yang baik…
Kita berteman dan saya senang kalian menyapa saya sebagai “SOCIUS!”.  Socius itu teman, sahabat, rekan. Sebagai teman saya mau bercerita tentang teman-teman saya ketika kami seumuran kalian.
Bagi saya, teman-teman saya itu bisa dibagi dalam dua kelompok besar. Ada teman-teman yang bisa belajar dengan cepat. Sekali dengar mereka akan mengingat hingga ulangan. Mereka hanya membutuhkan sedikit waktu untukk belajar menghafal semua pelajaran. Dan mereka selalu mendapat nilai yang sangat memuaskan dalam ulangan-ulangan dan ujian. Mereka ini biasanya jumlahnya sangat sedikit. Kelompok kedua adalah teman-teman yang harus belajar dua-tiga kali untuk bisa mengimbangi teman-teman kelompok pertama yang hanya belajar sekali. Saya dan banyak teman ada pada kelompok ini. Kelompok kedua ini membutuhkan keterlibatan lebih banyak panca indra dalam proses belajarnya. Setelah mendengar penjelasan guru mereka mesti mencatat dan sore harinya mereka mesti kembali mengulang bahan yang sama untuk memastikan ingatannya. Bahkan ada yang harus menggunakan peragaan gerak dan simulasi belajar kelompok yang lebih serius. Kami tidak pernah membuat kotak-kotak dalam berteman. Kami bergaul akrab. Kelompok pertama menghormati kelompok kedua. Kelompok kedua mengakui keunggulan kelompok pertama. Ada satu yang aku ingat bahwa kelompok pertama biasanya agak pendiam, kurang berbakat dalam olahraga atau seni, dan suka berdoa. Kelompok kedua biasanya lebih aktif dalam olahraga dan seni dan agak malas berdoa. Tentu saja ini bukan sesuatu yang mutlak. Ada satu-dua teman jenius yang juga berbakat dalam olahraga dan seni. Begitu juga ada teman-teman yang sulit belajar tetapi juga tidak menampakkan bakat dalam olahraga dan seni serta malas berdoa.

Anak-anak terkasih, Apa yang terjadi setelah 6 tahun kami meninggalkan asrama yang ketat itu?
Banyak teman saya yang ada di kelompok pertama belum merampungkan kuliahnya dan tidak bergairah mencari kerja mandiri. Mereka masih menggantungkan hidupnya dari orang tua mereka di kampong halaman sana. Sementara itu teman-teman yang ada di kelompok dua banyak yang sudah sarjana dan tekun bekerja dalam lahan-lahan pengabdian mereka. Ini juga bukan suatu kesimpulan yang mutlak. Ada temanku yang jenius sukses menjadi pengusaha dan eksekutif muda. Ada juga yang menjadi dokter terkenal. Ada juga yang mengkhianati etika studinya dengan memasuki perusahan-perusahan yang tidak ramah manusia dan lingkungan. Sebaliknya, ada juga teman-temanku yang kelompok dua yang masih berkuliah sambil beberapa dari mereka mencari kerja atau menjadi aktivis.
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini? Saya tidak mau menghakimi. Kalian sudah besar dan kalian berhak untuk menafsirnya. Kalaupun saya harus menafsir maka tafsiranku hanyalah satu dari banyak tafsiran yang mungkin bisa dibuat. Bagiku hidup adalah perjuangan yang kalian hafal sebagai “Vita est militia!” dan “NO PAIN NO GAIN” setelah kalian menanyakan apa arti proverbiae yang saya tulis di depan mading kelas kita.
Karena hidup adalah pilihan untuk berjuang menjadi bebas bertanggung jawab maka semua perjuangan dari teman-temanku kelompok dua untuk duduk tekun belajar semua mata pelajaran di asrama dulu sebenarnya bukan berdasarkan motivasi dan ambisi untuk menjadi sejarawan terkenal yang menghafal semua perang di Indonesia serentak menjadi matematikawan yang handal dalam menghafal deret angka, bukan juga untuk menjadi ahli geografi yang menghafal semua garis bujur dan garis lintang semua negara di dunia serentak menjadi ahli biologi yang bisa menghafal seluruh anatomi tubuh manusia dan kehidupan hewan-hewan dan tumbuhan. Tidak! Semua itu sebenarnya adalah latihan untuk berjuang tidak kenal lelah dan membuang rasa putus asa. Bagi saya itu semua adalah latihan dasar untuk memenangkan kehidupan yang mewajibkan kita untuk tekun bekerja ini.
Anak-anakku, ini hanyalah tafsiran saya dan tafsiran saya ini selalu belum selesai. Mungkin untuk membuka ruang bagi tafsiran baru, mungkin juga karena saya sadar bahwa saya tidak akan menafsirnya secara tuntas. Tafsiran ini mungkin cacat, tetapi kalau seandainya ada hal baik bawalah sebagai bekal mungkin untuk satu minggu ke depan. Ini tidak muluk-muluk dan bertele-tele kan? Hehe… Kan kalian tidak suka dengan guru yang bertele-tele…
Anak-anakku, selamat belajar aja ya…
Hidup ini adalah pilihan. Pilihan yang terbaik adalah pilihan untuk bebas bertanggung jawab dalam ketekunan untuk mengerjakan apa yang harus kita kerjakan. Percaya gak percaya: Semakin kita bertanggung jawab, kita semakin bebas dan berbahagia.
Anak-anakku…. Amin? Amin!!! Amin? Amin!!! Amin? Amin!!! Hehehe… persis seperti kita akan mengakhiri pelajaran agama dengan mengatakan “Amin!”. Amin itu iman, Amin itu juga aman. Amin! (Nah lihat saya mulai berceramah saleh lagi kan? Hehehe)
Selamat belajar ya…
Salam,

Gurumu