Senin, 22 Agustus 2011

Guru, Sepatu Darun, Kacung dan Tu(h)an

Cerpen buat Eja Inyo Soro

Guru, Sepatu Darun, Kacung dan Tu(h)an
 Oleh : Gusti Tetiro

“Kenapa kau masih mau menjadi seorang guru?,”tanya temanku suatu ketika.
“Karena aku mau belajar lebih banyak”, jawabku singkat padanya.
“Bukannya kalau menjadi guru itu mengajar”
“Iya”
“Bukannya mengajar berarti berhenti belajar?”
“Siapa bilang?”
“Bukannya begitu kan? Dulu kita hafal banyak hal karena kita siswa harus berjuang menjawab soal ulangan dan ujian. Apalagi kalau ditentukan KKM-nya, kita akan berjuang hanya untuk melampaui KKM kan?”
“Tetapi, bagiku mengajar itu belajar”
“Masa?”
“Karena mengajar itu mempertanggungjawabkan apa yang sudah kita belajar”
“Engkau bisa mengajar juga ya?”
“Tidak segampang yang dibayangkan”
“O iya?”
“Engkau bisa menghafal konsep dan teori Allah Tritunggal atau tentang kebebasan dan tanggung jawab dengan sangat baiknya, namun engkau akan kesulitan menjelaskannya kepada anak-anak usia duabelasan”
“Kenapa?”
“Karena kerap kali saya tidak mempunyai bahasa yang pas untuk menjelaskannya kepada mereka”
“Kalau kepada saya?”
“Mungkin bisa saya menjelaskannya karena saya tahu kita akan mulai dengan pengandaian-pengandaian yang sama”
“Mungkinkah itu karena engkau tidak berbakat menjadi seorang guru anak-anak sekolah lanjutan tingkat pertama?”
“Mungkin engkau bisa menilainya begitu, tetapi hati saya selalu berkata kalau saya bisa mengajar mereka pelajaran agama yang sudah saya dapat selama kuliah”
“Mungkin engkau mau mengikuti jejak filosof yang paling kau sukai ya?”
“Memangnya kau masih ingat siapa filosof kesukaanku?”
“Kau paling suka Wittgenstein kan?”
“Iya...”
“Dia yang kau sukai karena kepintarannya dalam bidang filsafat bahasa. Dia yang tesisnya S2-nya langsung dihargai sebagai disertasi doktoralnya. Dan yang paling penting, yang membuat kalian menjadi sama adalah... Kalian memutuskan untuk menjadi guru bagi anak-anak setelah menjadi sarjana dan ahli filsafat”
“Tetapi saya terlalu takut untuk menyamakan diri dengannya”
“Tetapi kalian mempunyai kesamaan sebagai pengajar anak-anak”
“Dia lebih hebat karena dia bisa mengajar anak-anak sekolah dasar yang saya tidak bisa ajar”
“Ah...kau terlalu merendah kawan”
“Tidak, saya mengetahui kemampuan saya. Saya mengagumi sang filosof sebagai pribadi yang hebat yang bisa jadi filosof, pembelajar matematika, arsitek, tukang kebun, guru sekaligus”
“Iya ya... Dia memang hebat”
“Saya mengaguminya”
“Saya mengidolakannya”
“Saya bahkan tidak sampai mengidolakannya”
“Kenapa?”
“Karena saya mesti mengeritiknya”
“Bukannya apa yang dikatakannya itu selalu benar?”
Aku tidak langsung menjawabnya karena kami harus menyeberangi jalan raya depan Istiqlal menuju gerobak mie ayam.

###

“Itu temanku yang jadi kacung di Masjid Istiqlal,”sambil kutunjuk seorang yang sedang menyirami bunga-bunga depan masjid Istiqlal, “Namanya Darun”.
Kami sedang makan mie ayam depan katedral Jakarta malam itu setelah aku diberi izin keluar mess guru oleh suster kepala.
“Memangnya dia kenapa?”
“Darun itu kacung yang baik”
“Baik bagaimana?”
“Dia mau menjaga setiap sepatu pengunjung masjid Istiqlal dan menjamin keselamatan sepatu dan pemilik sepatu selama berada di dalam masjid Istiqlal”
“Kasihan ya dia”
“Kasihan kenapa?”
“Dia pasti kurang mendapat pendidikan sehingga dia menjadi kacung masjid saja”
“Jangan salah menilai kawan. Saya pernah merekam penjelasannya tentang Masjid Istiqlal. Ada di HPku sekarang. Penjelasannya persis seperti yang ditulis Wikipedia. Ini dengarkan...”
“Ayolah putarkan...”
“Masjid Istiqlal adalah masjid yang terletak di pusat ibukota negara Republik Indonesia, Jakarta”, suara dari HPku memperdengarkan penjelasan Darun, “Masjid ini adalah masjid terbesar di Asia Tenggara. Masjid ini diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir. Sukarno di mana pemancangan batu pertama, sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Istiqlal dilakukan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1951. Arsitek Masjid Istiqlal adalah Frederich Silaban.
Lokasi masjid ini berada di timur laut lapangan Monumen Nasional (Monas). Bangunan utama masjid ini terdiri dari lima lantai. Masjid ini mempunyai kubah yang diameternya 45 meter. Masjid ini mampu menampung orang hingga lebih dari dua ratus ribu jamaah.
Selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam, masjid ini juga digunakan sebagai kantor Majelis Ulama Indonesia, aktivitas sosial, dan kegiatan umum. Masjid ini juga menjadi salah satu daya tarik wisata yang terkenal di Jakarta. Kebanyakan wisatawan yang berkunjung umumnya wisatawan domestik, dan sebagian wisatawan asing yang beragama Islam. Tidak diketahui apakah umat non-Islam dapat berkunjung ke masjid ini.
Pada tiap hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi Muhammad, presiden Republik Indonesia selalu mengadakan kegiatan keagamaan di masjid ini yang disiarkan secara langsung melalui televisi.”
“Bagaimana?”
“Hebat sekali dia ya…”
“Ada satu yang mengesankan dari kisah hidupnya yakni kisahnya tentang sepatu Soeharto yang pernah dipakainya”
“Memang Soeharto mengenal seorang kacung seperti dirinya?”
“Mereka akrab satu sama lainnya setelah Soeharto memberikan sepatunya kepada Darun si Kacung masjid itu”
“Dia pasti bangga…”
“Dia bahkan bercerita dengan hebatnya tentang kebiasaan Soeharto menyapanya ketika dia menanggalkan atau memasang kembali sepatu Soeharto. Dia bahkan bercerita tentang kebiasaan Soeharto menyelipkan uang lima puluhan ribu bergambar dirinya ke dalam katung baju Darun setelah Darun memasang kembali sepatu sang bapak”
“Begitulah orang kecil di hadapan Pemimpin Otoriter itu”
“Tidak seperti itu juga karena katanya Soeharto tidak pernah berlaku kejam kepadanya atau kepada siapa saja. Soeharto bahkan selalu tersenyum kepada siapa saja. Kan  teman tahu ada penulis yang menjuluki Soeharto sebagai The Smile General”
“Itukan triknya untuk menutupi keotoriterannya”
“Tapi Darun bilang Soeharto itu tidak otoriter hanya orang-orang di sekitarnya saja yang mau dekat-dekat dengannya bahkan ada yang mau menyembahnya”
“Mentalitas kacung semuanya”
“Mungkin, tetapi memperhatikan apa yang kacung Darun katakan itu ada benarnya juga”
“Benarnya bagaimana?”
“Banyak orang mendekatinya bahkan kita seluruh bangsa menyebutnya sebagai bapak kan? Sekurang-kurangnya bapak pembangunan Orde Baru”
“Terus?”
“Kalau kita sudah menganggapnya sebagai bapak berarti kita tidak akan melawannya, kita tak dapat mengadilinya bahkan ketika kita semua tahu kalau dia benar-benar bersalah.”
“Ha?”
“Anak manusia mana yang mau mengadili bapaknya?”
“Wouuuww… masuk akal,” reaksinya mengingat kami latah waktu kami masih di bangku kuliah dulu.
“Hahaha… Jangan-jangan Darun sekarang sedang mengenakan sepatu Obama yang barusan mengunjungi masjid Istiqlal!”
“Hahaha…,” tawanya pecah khas Flores tengah mengundang perhatian anak gadis pemilik gerobak mie ayam.

###

“Rupanya kita mesti ke Gereja sekarang”, ajak teman saya setelah mendengarkan nyanyian dari arah katedral.
“Aku juga mau berdoa sebentar”, setujuku sambil mengarahkan langkah dari luar gerbang katedral ke dalam gedung gereja.
“Aku seringkali melihat gedung gereja dan masjid Istiqlal di sekitar ini seperti makam-makam Tuhan sebagaimana kata Nietzsche”
“Itu karena Nietzsche salah menganggap bahwa dia telah membunuh Tuhan, tetapi kita besyukur karena dia sukses membunuh konsep ke-Tuhan-an yang salah”
“Tapi yang pasti saya merasa aman kalau ada di sini, apalagi ketika saya merasa cemas, kesepian, terancam dan tidak aman”
“Atau jangan-jangan kau meyakini Freud benar waktu mengatakan Tuhan tidak lain adalah kerinduan infantil kita akan figur ayah yang menjamin rasa aman kita”
“Iya…kenapa?”
“Tidak apa-apa”, saya tertunduk sejenak dan temanku langsung menyambar, “Ada satu hal yang kutahu kebenaran mutlaknya sebagaimana yang dikatakan filosof kesukaanmu itu, “Wovon man nicht reden kann, dareuber soll man schweigen—Orang harus diam tentang apa yang orang tidak dapat bicarakan”.
“Terus, apa yang kaupikirkan?,” tanyaku lagi.
“Wittgenstein benar! Mutlak!!!”
“Tidak! Wittgenstein salah kalau mengajak kita untuk diam tanpa suara dan tanpa pikiran. Saya hanya berpikir bahwa di hadapan sesuatu yang tidak dapat dikatakan kita mesti senantiasa bergelisah memikirkannya sebab kita hidup dan kita mati dari dan di dalamnya. Kita tidak boleh merayakan kematian Allah dalam bahasa”
“Wouw….”
“Di hadapan saya Wittgenstein benar karena ‘keheningannya’ adalah keheningan seorang pemikir yang beriman dan berharap. Kerap kali kita bisa jadi seperti si Kacung Darun mungkin dengan gaya yang berbeda”
“Kau mau sinis saya dengan gaya pembagian Nietzsche untuk dua kelompok manusia yang belajar filsafat?”
“Engkau yang mengatakannya”
"Tidak apa-apa... Saya sadar kau sudah sungguh jadi guru sekarang, bahkan guru untuk saya"
“Hahaahaha…”, kami saling meninju lengan satu sama lain sebagai bahasa persahabatan sebelum kami masuk ke dalam katedral. Tentu saja untuk berdoa pada Dia yang harus selalu kami pikirkan dan bicarakan, bahkan untuk mengajak-Nya berdialog dan bekerja sama dalam tanggung jawab masing-masing.


Jakarta, 10 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar