Senin, 22 Agustus 2011

Ngga'e


Oleh : Gusti Adi Tetiro

            Dahulu di kampung kami ini ada seorang pria tua. Rambutnya panjang. Janggutnya panjang. Kedua-duanya sudah beruban lagi. Kami menyapanya Wajangata Ema Kojo. Sapaan itu bukan sebuah sapaan yang baru muncul dari generasi kami, tetapi memang sudah ada sejak zaman orang tua-orang tua kami. Ema Kojo terkenal sebagai orang yang ramah,  baik, dan sangat menyayangi anak kecil. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan kebanyakan bapak tua-bapak tua di wilayah kami yang selalu menunjukkan ekspresi ganas dan berlaku kejam dan bengis terhadap istri dan anak-anak mereka. Ema Kojo ini adalah seorang guru agama di kampung kami. Dia pernah mengajarkan kami bahwa kami ini orang-orang nasrani yang mesti menjadi baik hati dan baik dalam hidup sehari-hari mengamalkan cinta kasih.
            Suatu sore hari di saat kami sedang bermain di halaman kampung, kami dipanggil oleh Ema Kojo. Katanya: “Anak-anak, sekarang kita doa dulu. Doa angelus”. Mulailah kami berdoa Angelus sebagaimana yang telah kami hafal di sekolah setiap hari. Setelah berdoa Ema Kojo mengatakan sesuatu:
 “Kita mesti bangga, karena kita mempunyai Allah yang mahaesa dan mahakuasa”.
Seorang temanku yang nakal bertanya, “Ema, Yesus itu siapa?”
“Yesus itu anak tunggal Allah”
“Kenapa kita bilang Dia Allah Putera?”
“Karena Dia anak Allah. Sama kan kita bilang Rombe anak mosalaki, karena bapaknya mosalaki”
‘Itu berarti Allah kita ada dua: Allah Bapa dan Allah Putera”
“Bukan hanya dua, tetapi ada tiga nama: Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Tetapi kita hanya mempunyai satu Allah”
“Kan kita punya tiga Allah. Masa ema bilang kita hanya punya satu Allah. Ema pasti mau tipu kami”
“Benar. Kita mempunyai satu Allah, tetapi tiga pribadi. Ingat, kita hanya punya satu Allah dengan tiga nama”
“Aku iwa mengerti. Saya tidak mengerti”
“Bisa saja kan seperti Marilonga. Bisa disapa Mari. Bisa disapa Longa. Bisa disapa Ata Laki kan...”
“Oh jadi begitu. Allah itu hanya satu dengan tiga nama”
Teman-temanku yang lain mulai merasa puas tetapi aku masih bingung. Kamipun kembali bermain lempar kemiri di halaman kampung kami itu.
            Menjelang malam kami dipanggil pulang ke rumah oleh orangtua kami masing-masing. Di rumah oma bercerita tentang Dua Ngga’e. Du’a  Nga’e itu adalah pencipta dan penguasa seluruh alam. Du’a menguasai langit dan Ngga’e menguasai bumi. Selain manusia ada makluk lain yang mendiami bumi ini, yaitu nitu pa’i dan ata polo. Nitu pa’i dan ata polo mendiami batu-batu besar, kali-kali besar, dan pohon-pohon besar. Karena nitu pa’i adalah orang-orang jahat, maka manusia tidak boleh berbuat sembarangan, jalan sendirian, atau mengganggu tempat tinggal mereka itu. Setelah mendengar semuanya itu, aku ketakutan dan tidak berani lagi pergi sendirian atau dengan teman-teman ke tempat-tempat itu.
            Hari-hariku mulai saat itu adalah hari-hari penuh tanda tanya. Setiap hari Minggu aku ke gereja berdoa secara buta kepada Tuhan yang disebut Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus. Sekali-kali berdoa rosario bersama mama di gua Maria. Setiap bulanpun aku tidak pernah luput diajak ine du’a untuk menyalakan api di tungku tengah dalam rumah adat. Kata ine du’a, api itu mesti dinyalakan untuk memasak sesajian bagi para nenek moyang yang telah meninggal dunia.
            Aku bingung. Aku mencintai Allah-ku tetapi aku tidak mau tidak menyembah Du’a Ngga’e-ku.
            Seribu tanya di kelapaku sekarang. Bahkan ketika pemahaman teologiku sudah melampaui apa yang Wajangata Ema Kojo pahami. Mungkin sejarah yang akan mengungkapkannya. Dan aku meramal: Sejarahpun tidak akan selesai menenunnya.


Biara OFM Kampung Ambon, 01 Januari 2011 (00.30)
Setelah dijamu seorang ahli sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar