Kamis, 25 November 2010

LAZARUS


Kado pada HUT Sdr Kami Agustinus “Joy” Maria Eduard yang telah berbahagia di pangkuan Bapa Abraham di Surga, 1986-2 Mei-2010.

“Lazarus”

“Aku memberkati kamu dalam Nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus”, demikian kata-kata pemberkatan dalam rumusan Trinitas yang diucapkan pastor untuk menyalurkan berkat Tuhan bagi gerejanya yang adalah umat Allah yang sedang berziarah menuju rumah Allah.
            “Amin,” balas seluruh umat untuk menyetujui berkat Allah melalui tangan kudus pastor mereka.
            “Misa kita sudah selesai”, lanjut pastor.
            “Syukur kepada Allah”, jawab seluruh umat.
            “Marilah pergi, kita diutus”, ajakan imam menguatkan umatnya.
            “Amin,” begitulah ungkapan penyetujuan umat di akhir misa meriah hari itu. Amin yang mereka ucapkan adalah sebuah pernyataan yang dapat berarti iman  dan aman. Iman akan Allah yang mereka sembah dan harapan untuk hidup aman dalam Allah. Amin selalu berarti iman dan harapan akan yang aman.Amin. Iman. Aman.
 Dan aku adalah seorang umat yang hadir. Para umat keluar dari gereja dengan muka yang cerah dan hati yang gembira serasa begitu dekat dengan Tuhan, seolah-olah Tuhan hadir secara fisik dan sedang berjalan di samping kami masing-masing. Ibu-ibu saling berciuman dan menciumi suami, anak, mantu dan cucu-cucu mereka. Anak-anak muda yang datang berpasangan saling bergandengan tangan. Mungkin juga beberapa calon pastor yang hadir dalam misa itu merasa iri hati bagaimana anak gadis-anak gadis dengan manja memiringkan dan menyandarkan kepala mereka ke dada-dada perkasa pacar mereka dan pada kesempatan itu pacar-pacar mereka akan melingkarkan tangannya ke pinggang gadis di sampingnya. “Ah...bagiku itu hanya ada dalam hayalan”, aku mereka-reka apa yang dipikirkan oleh para calon pastor yang melihat umatnya dari atas balkon koor itu.
            Aku sekarang di depan gereja, namun aku cepat-cepat masuk kembali ke dalam gereja karena kulihat Lazarus ada di depan papan pengumuman. Setiap kali melihat Lazarus dari jauh, aku akan mencari jalan lain. Kalau kulihat Lazarus di sebuah lorong kecil aku akan memilih lorong lain. Kalau kulihat Lazarus di depan emperan toko, aku akan mencari pintu keluar yang lain. Kalau kulihat Lazarus di jembatan, aku  akan sengaja melihat air kalinya walau tanpa tahu apa yang kulihat di dalam genangan air kali itu. Aku mengingat dulu ketika masih di asrama. Aku seperti seorang anak asrama yang tidak mau bertatap muka dengan bapak asrama apalagi bila aku terlambat masuk asrama setelah pesiar seharian. Lebih parah lagi kalau setelah bolos, aku pasti tidak mau melihat bapak asramaku. Bagiku bapak asrama tahu segalanya tentang diriku, bagimana aku menganggu karyawati tukang masak bahkan mencolek tubuhnya, kemana aku bolos, dengan siapa dan semalam berbuat apa. Namun yang berbeda antara sikapku terhadap Lazarus dan sikapku terhadap bapak asrama adalah apabila aku berdoa aku akan mendoakan Lazarus namun aku tidak mau bertemu Lazarus, aku tidak pernah berdoa buat bapak asrama, tetapi aku masih berani bertemu bapak asrama apalagi kalau setelah aku melakukan hal-hal yang baik misalnya membantunya menanam pohon mahoni di pinggiran jalan masuk asrama, mencetak gol dalam pertandingan antarasrama, hadir di kapela limabelas menit sebelum bapak asrama hadir untuk berdoa. Nah kalau bertemu Lazarus aku merasa selalu ditantang, hatiku terasa lain, badanku serasa mengeluarkan reaksi yang berbeda, dan bahkan aku bisa mual dan muntah. Setelah secara sengaja bertemu Lazarus aku biasanya buru-buru meninggalkannya, mencari tempat doa dan berdoa baginya. Itulah obat paling mujarab untuk menghilangkan bayangan Lazarus. Sebenarnya yang perlu aku takuti itu bapak asramaku karena dia selalu menantangku. Tatapan matanya itu adalah pengadilan bagiku, namun bila aku yakin tak bersalah aku akan membalas tantangannya dan dia akan mengalihkan tatapannya ke tempat lain, mungkin saat itu dia tahu bahwa untuk sementara aku tidak bermasalah. Aku lebih takut bertemu dengan Lazarus daripada menghadapi tantangan bapak asrama. Lazarus tidak menantang mataku, tatapan matanya adalah kelemahan dan anggota badannya jauh dari kesan jagoan yang mesti dikalahkan dan dipatahkan tulang-tulangnya. Akan tetapi Lazarus tetap menantangku bukan dengan matanya yang tajam, bukan pula dengan otot-ototnya yang perkasa, tidak juga dengan mukanya yang garang atau janggutnya yang bringasan. Lazarus menantangku dengan keadaannya. Lazarus menantangku dengan seluruh dirinya. Lazarus menghadangku dengan seluruh kemanusiaannya. Lazarus menantangku dengan gambaran wajah Allah pada wajahnya. Dan setiap kali memandang Lazarus, aku selalu kalah. Aku selalu kalah di hadapannya baik yang beralasan maupun yang tak beralasan.
            Setelah kupastikan sendiri bahwa situasinya aman, aku keluar dari gedung gereja dan kulihat ke arah papan pengumuman, Lazarus sudah tidak ada. Dia menghilang entah kemana. Aku juga tak mau mencarinya karena bagiku menemuinya adalah sebuah ketakutan. Aku takut pada caranya untuk mengatakan dirinya. Entah kenapa, sampai sekarang aku tak mengerti mengapa aku mesti takut dengan caranya mengatakan dirinya. Aku hanya merasa bahwa aku selalu tidak mendapatkan ekspresi yang tepat bila berhadapan dengannya. Kerap kali aku merasa begitu iri hati terhadap mereka-mereka yang mampu menemui Lazarus dengan wajar. Aku hanya tidak tahu bagaimana berekspresi di depannya.
            Aku melanjutkan perjalananku ke statius kereta api di Cikini karena aku mesti ke Bogor pagi ini juga. Aku akan bertemu dengan dua teman lamaku. Kami akan makan Bakso Kota dan menyeruput Es Campur Medan di atas lantai keberapa dalam sebuah mall dengan view yang indah menggambarkan kota Bogor dan daerah sekitarnya. Kami akan membicarakan rencana penggarapan skripsi dan tesis kami masing-masing. Temanku yang mengambil S1 teologi akan menulis tentang teologi pembebasan menurut Gustavo Gutierreez. Menurutnya, teolog yang lahir di Moserat, Peru, 8 Juni 1928 itu dengan tepat sekali mengatakan bahwa teologi mesti bertolak dari praksis. “Hanya apabila dimulai dari tataran praksis seseorang akan dengan tepat membicarakan Allah. Menurut Gutierrez, pengalaman manusia akan Allah pada dasarnya mengandung dua aspek yang berkaitan yaitu perjumpaan dalam doa/kontemplasi dan perjumpaan dalam aksi/komitmen terhadap sesama. Pengalaman akan Allah menjadi dasar untuk berbicara tentang Allah. Dengan demikian, teologi sesungguhnya merupakan kegiatan kedua (the second act) yang mengikuti praksis sebagai kegiatan pertama (the first act)”, demikian isi e-mailnya yang dikirim kepadaku beberapa hari lalu.
            Aku dalam kereta api menuju Bogor. Kereta penuh sesak dengan orang. Pria dan wanita, orang tua dan anak-anak, orang baik dan penjahat, mungkin saja ada polisi dan pencopet berdiri berdesakan, bergesekan satu sama lain. Untunglah aku mendapat tempat duduk. Di stasiun Manggarai, aku berdiri dan kupersilahkan seorang ibu tua menduduki kursi yang kududuki. Aku berdiri dan mulai merasa senasib dengan orang-orang yang sedari tadi kulihat berdiri. Ternyata betapa sengsaranya kalau berdiri di dalam kereta api dengan banyak orang yang saling berdesakan. Bau badan dan bau parfum murahan bersatu menjadi satu dalam aroma yang tidak mengenakan. Pria dan wanita saling bergesekan dan itu bukan masalah dalam sebuah kereta api kelas ekonomi. Akan menjadi masalah bila kita telah menyadari apa yang bergesekan dengan punggung kita. Ternyata masalah itu menyangkut kesadaran. Setelah kusadari bahwa apa yang melekat dan bergesek dengan punggungku adalah sebuah onggokan daging dada kenyal seorang gadis muda barulah aku dengan semakin sengaja menambah gesekannya. Yang kugesek itu punggungku tetapi yang berekasi bagian lain tubuhku yang agak jauh dari punggung. Ah...otak, canggihnya cara kerjamu. 
            Dengan enak-enaknya aku menikmati gesekan itu, tiba-tiba rasaku menghilang begitu saja. Aku tak tahu mesti berekspresi bagaimana atau mau berlari ke mana. Dari arah depan kulihat Lazarus datang ke arahku. Ingin aku menghindarinya namun ku tak mampu lagi menghindar ke arah mana. Aku terpaksa diam di tempat sambil mataku melihat keluar jendela kereta. Di luar kulihat banyak mahasiswi universitas terbesar negara ini duduk manis sambil bergaya menenteng blackberry dan handphone model terbaru yang tentu saja seharga tiga bulan gajiku sebagai seorang guru agama.
            Setelah kuyakini Lazarus telah melewati barisanku kuberanikan diri melihatnya dari belakang di antara orang-orang. Ternyata Lazarus itu bukanlah Lazarus yang ada di gereja tadi. Itu Lazarus yang lain. Lazarus yang di gereja adalah Lazarus yang kehilangan  kedua tangannya. Lazarus yang barusan lewat ini adalah Lazarus yang kehilangan kedua kakinya. Lazarus ini berjalan seret dengan pantatnya. Tangannya telah membatu karena sehari-hari tangannya telah menjalankan peran sebagai kaki untuk menggeser badan dan pantatnya. Aku terdiam sebagaimana biasa kalau melihat Lazarus. Aku tidak tahu dan selalu tidak dapat bagaimana ekspresi yang pas kalau bertemu Lazarus.
            Sementara kupikir-pikir Lazarus yang barusan lewat ke belakang itu, dari depan kulihat lagi Lazarus. Tetapi Lazarus yang dari depan itu menampakkan wajah yang sama dengan Lazarus di gereja. Wajahnya sama namun keadaannya berbeda. Aku memberanikan diri untuk melihat mereka. Lazarus itu sekarang buta. Dengan tongkatnya ia berjalan sambil bernyanyi. Tangan kanannya memegang tongkat, tangan kirinya ada kertas plastik. Beberapa  ibu memasukan koin lima ratusan ke dalam plastiknya. Aku mencoba memberinya seribu rupiah. Datang lagi Lazarus kedua, dia seorang ibu muda yang membuatku hampir muntah. Badannya penuh daki dan kudis, pakaiannya berbau apek. Sambil menggendong anaknya yang penuh luka bernanah di kepala dengan kain yang juga kotor, dia bernyanyi tanpa instrumen dari mulutnya yang mungkin belum bertemu pasta dan sikat gigi untuk sebuah durasi waktu yang lama. Beberapa orang memberinya uang, ada yang memberinya roti, ada yang memberinya balsem dan minyak angin sisa dari tas mereka. Mungkin minyak itu yang sudah tak mereka pakai lagi, namun yang mereka yakini sangat dibutuhkan oleh kedua ibu dan anak Lazarus tersebut.
            Aku mencoba melihatnya dengan keberanian yang baru kutemukan beberapa saat lalu. Aku membayangkan bagaimana bunda Teresa setegar itu melihat ribuan bahkan jutaan Lazarus setiap hari di tengah kota Kalkuta, India. Bunda Teresa yang mencoba mempertemukan semua orang miskin dan papa dengan kebahagiaan. Dia yang memberikan air bagi orang-orang miskin di Kalkuta yang hanya menghafal kata-kata “I am thirsty” untuk mereka katakan bila mereka kebetulan melihat seorang Eropa. Dia yang membantu orang-orang miskin tanpa melihat latar belakangnya. Dan yang terutama, dia yang menolak tawaran beberapa orang kaya untuk membantu secara rutin setiap bulan dengan  sejumlah uang. Dia bukanlah orang miskin yang sombong yang tidak menerima sumbangan. Dia hanya mau menjaga martabatnya sebagai manusia. Dia yang tidak mau merasa tergantung pada pemberian rutin orang kaya. Dia menerima sumbangan tetapi tidak pernah mau melihat sumbangan itu sebagai penutup mulutnya terhadap kebenaran dan terutama keberpihakannya. Tentu saja dia berbeda dengan beberapa pemegang hirarki gereja dalam sebuah masa sejarah gereja yang mendapat sogokan dari pemerintah atau yang berani-beraninya menjual tiket masuk surga. Bukankah seorang uskup akan kehilangan suara keberpihakannya kepada umatnya apabila mobil yang dia pakai dengan bendera keuskupan di depannya adalah mobil pemberian pemerintah? Semoga ini hanya cerita belaka.
            Aku tiba di stasiun kereta kota Bogor. Aku kehilangan gaya setelah kulihat di depan terminal dua orang Lazarus duduk tanpa berteriak meminta-minta. Mereka duduk begitu saja. Namun beberapa detik kemudian setelah mendengar denting lonceng gereja katedral Bogor, ibu Lazarus itu mengeluarkan rosario dari kantungnya dan mulai berdoa.
“Barang siapa melakukan kebaikan kepada saudaraku yang paling hina ini, dia melakukannya untuk Aku”, terngiang bacaan suci pagi tadi di gereja. Aku mengeluarkan dompet dan kuberikan sepuluh ribu rupiah kepada mereka berdua, kedua Lazarus pertama yang kutemui di Bogor. Aku membuka tasku dan kuberikan sandal jempit terbaru kepada seorang ayah Lazarus. Toh itu hanya seharga lima ribu rupiah. Mahatma Gandhi membuang sandalnya yang kiri setelah sandal kanannya jatuh secara tidak sengaja dari kereta api. “Supaya orang miskin yang menemukan sandalku itu dapat mengenakannya di kedua kakinya” katanya bijak menjawabi pertanyaan teman di sampingnya.
            Aku sampai di tempat janjian dengan temanku. Seperti yang telah direncanakan, kami makan sambil melihat pemandangan. Kami membicarakan tulisan kami masing-masing. Yang satu kembali menjelaskan ide Gustavo Gutierrez tentang teologi pembebasan. Yang satunya lagi membicarakan kemungkinan sastra untuk menggalang solidaritas. “Ini pikiran Richard Rorty tentang menjadi pribadi ironis liberal yang selalu memperjuangkan solidaritas”, katanya tentang rencana tesisnya. Aku memilih diam untuk mendengarkan uraian mereka tentang tulisan masing-masing. Konsentrasiku belum bisa penuh. Aku masih mengingat Lazarus yang kutemui hari ini. 
            Aku tidak mengatakan tulisanku apa, yang kupikirkan hanyalah aku mesti cepat pulang ke Jakarta melalui kereta api yang mungkin sama. Mungkin Lazarus itu telah kembali ke tempatnya yang semula yang entahlah dimana. Aku mau menemuinya lagi dengan keberanianku yang baru kutemukan.
            Aku dalam kereta pulang dari Bogor ke Jakarta. Aneh, aku tidak menemukan Lazarus seorangpun. Aku kembali ke gereja untuk mencari Lazarus ke tempat biasa di depan papan pengumuman. Namun dia tidak ada di sana. Aku masuk ke dalam gereja dan berdoa untuk semua Lazarus yang kutemukan hari ini. Dalam doaku aku mengingat kata-kata orang kaya, “Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini.”
            Aku keluar dari gereja melewati papan pengumuman dan di balik papan pengumuman aku mendengar ada suara memanggilku, “Engkau siapa?”, suara itu suara Lazarus. Dia duduk di bawah papan pengumuman. Aku terdiam dan menatapnya. “Engkau siapa?”, Lazarus kembali bertanya dan akupun hanya diam seribu bahasa. Aku memberinya sedikit dari isi kantungku.
“Engkau siapa?” adalah pertanyaan tamparan bagiku dalam ketakbernamaanku di tengah Jakarta yang serakah. Nama adalah tanda dan aku belum mempunyai tanda. Lazarus adalah nama dan tanda. Dan...”Engkau siapa?”. Aku pulang bukan untuk mencari Lazarus, aku pulang untuk mencari diriku sendiri. Nama adalah tanda. Dan aku belum menemukannya.
             


Jakarta-Bogor-Jakarta, 2 Mei 2010.